CATATAN HARDIKNAS DARI PULAU MAYAU

Editor: KritikPost.id

Oleh : Chrisvanus Th Lahu, (Sekretaris GMKI Ternate)

 

Kira-kira Pukul empat dinihari kapal sabuk nusantara 86 membunyikan Blast atau peluit panjangnya  menandakan kami telah sampai di pulau yang kerap dikenal dengan pulau “Apung” Mayau Batang dua. Pulau yang terletak ditengah laut antara dua provinsi yaitu Sulawesi utara dan Maluku utara memberikan keunikan tersendiri bagi masyarakat disini.  Hari masih gelap dan Nampak remang-remang lampu jalan yang  tak seberapa jumlahnya namun cukup memberikan tanda bahwa dipulau ini ada pemukiman warga. Tak lama kemudian terlihat beberapa perahu longboat  menepi di badan kapal untuk menawarkan jasa nya mengantar kami ke tepi pantai (Rupanya motorist menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat disini karena keterbatasan infrastruktur, menyebabkan kapal tidak berlabuh di pelabuhan). Sesampainya di tepi pantai, kami beristirahat sejenak sembari menghitung barang bawaan dengan dibantu cahaya senter handphone karena kurangnya penerangan disekitar pelabuhan tempat kami turun. Dalam perjalanan sekitar tiga ratus meter melewati jalan yang lebarnya tidak lebih dari dua meter, kami harus antri berjalan antara pejalan kaki dan pengendara motor karena memilih jalan yang kurang genangan air dan beceknya yang  menandakan jalan tersebut belum dilirik oleh pemerintah. kami akhirnya tiba di sebuah sekretariat tepatnya di samping Bank BPRS Bahari berkesan (Menurut Amatan penulis, bank itu adalah satu-satunya Bank yang ada di Pulau Batang Dua). Tak berselang lama Kami disuguhkan sarapan pagi pisang goreng  dan ikan sebagai makanan khas dan identitas di pulau ini. keramahan om dan tanta ketika saling menyapa,  menambah kehangatan pada  kami empat puluh orang kader GMKI yang datang untuk melakukan pengabdian.  

Sembilan hari aktivitas pengabdian kami lakukan disana, sekaligus menimba banyak masalah mulai dari infrastruktur, SDM sampai pada konflik-konflik internalnya sehingga banyak catatan yang perlu dibawa untuk didengarkan pada pemerintah Kota.  Dalam beberapa kesempatan, kami berkunjung ke kelurahan bido yang jaraknya kurang lebih Sepuluh kilometer dari penginapan. Perjalanan menjadi berkesan kala kendaraan yang kami tumpangi yaitu “Viar” membawa hampir sepuluh orang  melewati jalan sirtu yang banyak lubangnya namun memiliki pemandangan keindahan pantai pasir putih disepanjang perjalanan. Kesan  yang luar biasa selanjutnya terlihat mama-mama sedang berkumpul tapi bukan “Ba Karlota” melainkan melakukan pekerjaan “Ba Kore Kalapa”  yang biasanya harus dikerjakan oleh laki-laki. Terlihat juga seorang remaja perempuan yang dengan lincah dan percaya diri menyetir mobil Pick Up dengan muatan penuh pisang dan kayu bakar membuat kami heran bercampur kagum karena  uniknya aktivitas masyarakat dipulau ini.  Diwaktu berikutnya, saya dan beberapa teman melakukan aktivitas di laut yaitu “Ba Paka” (Sebuah aktivitas membentangkan jaring kemudian mengusir ikan hingga kena jaring itu). Di tengah perjalanan menyusuri pantai, banyak pohon kelapa yang sudah tumbang, ada pula Kuburan yang rusak terkikis ombak menandakan Abrasi yang begitu cepat dibeberapa tahun terakhir. Entah penyebab kurangnya pohon penahan ombak ataukah aktivitas mengambil batu di pantai tanpa pengawasan, yang jelas hal itu menjadi salah satu kecemasan dari sekian kecemasan lainnya.  

Kegiatan demi kegiatan kami laksanakan selama Sembilan hari, isi hati masyarakat pun di curahkan saat diskusi kecil ditempat-tempat tongkrongan maupun saat agenda Dialog Terbuka.  Seorang warga menyampaikan “Kalo boleh pengangkatan guru PNS, dong ambe anak kampong barang yang laeng dong tara lama-lama disini kong, akhirnya Tong stenga mati” adapula yang hanya menyampaikan “kalo boleh ngoni  pulang dari sini,tapi jang ngoni kase tinggal batang dua” Sebuah makna yang sangat mendalam dan terus diingat. Ada juga yang masih mengenang kisah kelam hilangnya kapal kairos dengan 18 penumpang yang tak lain bagian dari sanak saudara mereka.

Kesan singkat ini mengawali tulisan sederhana saya untuk sedikit mengulas keramahan, keunikan  serta kecemasan di negeri Mia Wala (Pulau Mayau) ini. Beberapa catatan menyebutkan kata “Mia Wala” dalam bahasa Loloda memiliki arti “Torang pe rumah”  dengan makna sebuah rumah bersama yang perlu dijaga dan dipelihara. Tinjauan historis memberikan sedikit petunjuk untuk mengenal lebih jauh Pulau yang jarang tersentuh pembangunan ini. Pulau yang sebelumnya tidak berpenghuni ini, dikunjungi oleh orang Loloda dan Ibu (Wayoli) dalam perantauan mereka  kemudian mendirikan pemukiman dan menetap di pulau ini sekitar tahun 1948. Masyarakatnya  kian bertambah melalui perpindahan penduduk juga faktor perkawinan dan hingga saat ini  terdapat 2.900 an jiwa (Data BPS 2019 :Penduduk Kecamatan Pulau Batang Dua) yang mendiami  pulau apung ini. Enambelas tahun berlalu (2007) Batang dua dimekarkan menjadi sebuah kecamatan melalui walikota Syamsir andili, dengan harapan memberikan dampak positif bagi peradaban pulau batang dua. “Barangkali cita-cita kesejahteraan ini dikutip dari pulau palmerston dibagian selatan asia pasifik yang santai,ramah juga berperadaban hingga kini”. Namun Cita cita tersebut mungkin agak bertolakbelakang dengan kondisi dipulau ini. Hasil investigasi juga dialog dengan masyarakat, banyak hal yang masih sangat butuh jamahan pembangunan baik fisik juga non fisik di pulau yang unik ini.

Progres Infrastruktur

Infrastruktur menjadi sebuah indikator penting dalam melihat kesejahteraan satu daerah dimana masyarakat merasa mudah dan nyaman dalam mengakses sesuatu yang ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Konsep ini tentu membutuhkan proses yang tidak instan dan butuh kesalarasan antara pemerintah kota, kecamatan hingga kelurahan. Dalam catatan singkat ini sedikit menekankan soal  Komitmen dan konsistensi pemimpin dalam menjamin kesejahteraan masyarakat.

Ditengah perjalanan menuju Kelurahan lelewi yang hanya berjarak kurang lebih satu kilometer dari mayau, terlihat sebuah gedung baru yang kosong dan sepertinya belum terurus. Gedung tersebut ialah pasar “Sonyinga Moi” yang baru diresmikan tahun kemarin namun belum ditempati untuk dijadikan sentral jual beli. Fasilitas tersebut nampaknya kurang diminati oleh masyarakat karena kekurangan dari berbagai aspek, alhasil proses jual beli masih dilakukan di Bitung dan ternate untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga kehadiran pasar belum dirasakan kontribusinya secara signifikan bagi masyarakat batang dua. Belum lagi akses  internet ditengah pemukiman kelurahan lelewi menjadi masalah yang tak kunjung selesai karena Akses internet yang baik hanya bisa dirasakan ketika berada di  pantai dan akses yang buruk berada dilingkungan strategis misalnya Kantor kelurahan, Pusat Administrasi tempat ibadah dan juga pemukiman warga. Di kelurahan bido akses internet malah lebih memprihatinkan karena tidak terakses sama sekali sehingga dalam beberapa momen yang mendesak, warga kelurahan bido harus datang ke kelurahan mayau untuk memenuhi kebutuhan internet nya. Dilain sisi, ada janji yang ditunggu soal pemeliharaan jalan yang sampai sekarang masih kecil realisasinya juga ancaman Abrasi menambah rentetan kecemasan yang kian mengancam masa depan warga sehingga membutuhkan Talud Penahan ombak sepanjang pemukiman warga. Musrenbang ke Musrenbang sudah  menjadi usulan klasik soal infrastruktur jalan, pelabuhan dan jaringan internet yang katanya telah diakomodir APBD 2022.

Tantangan Perkembangan SDM

 Saya teringat sebuah kata bijak dari Bj.Habibie seorang panutan anak muda “Kalau bukan anak bangsa yang membangun bangsanya, siapa lagi? Jangan saudara ,mengharapkan orang lain yang datang membangun bangsa kita”  sepertinya kontekstual dengan kondisi kekinian soal tantangan SDM yang menjadi titik fokus semua. Sumber Daya Manusia yang unggul dan berdaya saing lahir dari proses pendidikan yang benar-benar matang melalui fasilitas pendidikan yang memadai serta tenaga pendidik yang  berkompeten memberikan ilmu secara berkelanjutan. Pada kondisi dipulau mayau, Fasilitas pendidikan dan tenaga pendidik menjadi poin utama untuk perkembangan SDM yang unggul. Catatan pertama yang coba dikaji melalui diskusi dengan masyarakat adalah soal kekurangan tenaga pengajar sehingga tidak jarang ditemukan satu guru mengajari beberapa mata pelajaran yang walaupun bukan latar belakang keilmuannya. Selain itu, Pengangkatan guru ASN seharusnya diambil dari anak daerah dan ditempatkan pada daerahnya sendiri untuk meminimalisir mutasi tempat tugas sebelum habis kontrak kerjanya.

Catatan kedua soal buku bacaan sebagai sumber referensi juga masih terbatas untuk dipakai mengakses pengetahuan Sehingga taman baca disetiap kelurahan menjadi sangat penting dikembangkan melalui pemerintah atau dinas terkait sebagai faktor penunjang siswa ketika diluar sekolah untuk menarik minat literasi. Dan catatan terakhir soal pemanfaatan teknologi  yang kian pesat memberikan pesan “walaupun kita berada didaerah terpencil tetapi tidak gagap teknologi” sehingga jaminan ketersediaan fasilitas teknologi pada setiap lembaga pendidikan di pulau terluar harus terdistribusi dan merata dengan baik. Bantuan Fasilitas juga harus tepat guna terhadap siswa dan tenaga pengajar sehingga mampu bersaing dengan siswa lainnya yang ada di kota. Dalam agenda Hari Pendidiikan Nasional (HARDIKNAS) di Ternate dengan Tema yang diusung  “Bergerak bersama semarakan Merdeka Belajar” sekiranya menjadi pengingat bagi pemerhati pendidikan juga pengambil kebijakan bahwa dipulau mayau butuh gerak bersama setiap stakeholder untuk berjuang keluar dari keterpurukan pendidikan dan merdeka terhadap ketimpangan pembangunan. ("").

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.