![]() |
Gambar: Pulau Halmahera (Google Maps) |
Oleh: Sirayandris J. Botara
Entah mengapa, gempuran industri tambang di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya tampaknya berjalan dalam senyap, tanpa riak-riak signifikan. Dibandingkan dengan tempat lain seperti Raja Ampat, masyarakat dan LSM telah menunjukkan reaksi yang kuat terhadap kerusakan lingkungan, Halmahera seolah-olah diam. Padahal, sejumlah riset telah menunjukkan degradasi yang signifikan, mulai dari pencemaran logam berat, kehilangan biodiversitas, hingga marginalisasi komunitas adat.
Tentu diam tidak selalu berarti pasrah; namun, diam seringkali merupakan akibat dari trauma kolektif yang belum menemukan suara. Saya sendiri lahir di Loloda Utara, pesisir pantai Halmahera Utara. Wilayah kami telah beberapa kali disurvei untuk pertambangan pasir besi. Dan setiap kali saya pergi ke Weda Utara atau Buli dan melihat gunung yang digunduli, saya teringat kampung saya, yang entah sampai kapan akan bertahan.
Memang tantangan ke depan tidak mudah, berita tentang proyek baterai kendaraan listrik terpadu di Halmahera (The Jakarta Post, 5 Juni 2025) dan kunjungan Presiden Prancis ke Indonesia untuk mengincar nikel Halmahera (Unhas TV, 30 Mei 2025) memberi peta jalan betapa derasnya pertambangan di pulau Halmahera. Dalam kecemasan itu, saya ingin memeluk Halmahera dengan kesadaran yang dalam, bukan dengan tangan.
Memeluk sebagai Wujud Relasi Otentik
Kita tidak kekurangan contoh daerah pertambangan yang kaya yang dieksploitasi berbanding lurus dengan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Negara-negara seperti Mali, Irak, Kuba, Zimbabwe, Nauru, Venezuela, dan Latvia adalah negara-negara yang pernah kaya pada masanya namun sekarang menjadi miskin (CNBC Indonesia, 23 Januari 2024). Dan jika kita menginginkan contoh dari Indoensia, masyarakat Papua hingga saat ini terus memperjuangkan hak-hak atas tanahnya, yang oleh youtuber Bobon Santoso mengibaratkannya seperti berdiri di atas emas, berjalan tanpa alas (Info Radar, 16 April 2024).
Di Maluku Utara sendiri juga banyak contohnya. Pertambangan yang sudah puluhan tahun beroperasi, jangankan dampaknya secara keseluruhan terhadap masyarakat propinsi Maluku Utara, terhadap masyarakat lingkar tambang tingkat kecamatan saja masih menjadi tanda tanya. Kita juga bisa menyaksikan masyarakat Buli dan Maba di Halmahera Timur, Weda Utara di Halmahera Tengah, atau Pulau Obi dan Gebe. Wilayah-wilayah yang penuh susu dan madunya ini, apakah kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan alam dipengaruhi oleh kehadiran industri besar ini?
Kita juga dapat membaca hasil riset yang dilakukan oleh Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako pada awal tahun ini yang menemukan logam berat merkuri dan arsenik pada sampel ikan dan darah warga di sekitar area industri teluk Weda (Nexus3 & Untad, 2025)(Kompas, 26 Mei 2025). Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah menolak temuan ini dengan menegaskan bahwa kadar logam masih di bawah ambang batas, sehingga teluk Weda diklaim aman (Kompas, 3 Juni 2025). Perdebatan dan sikap pemerintah terhadap hasil riset ini memperlihatkan gambaran sains independen, bisnis, dan pemerintah yang terus menjaga iklim investasi.
Temuan logam berat pada sampel ikan dan darah warga di sekitararea industri hanyalah salah satu contoh, dari sekian banyak contoh hasil riset tentang dampak dari sektor industri, utamanya nikel, yang terus tumbuh di pulau Halmahera sebagai implementasi program hilirisasi pemerintah. Temuan-temuan lapangan seperti penumpukan sampah, menurunnya kualitas air, dan komunitas adat yang terpinggirkan (IESR, 2024, p. 523) nyaris tidak digubris, ironisnya lagi, AMDAL dan prosedur perizinan biasanya sudah disahkan sebelum masyarakat benar-benar memahami dan mengalami dampaknya.
Situasi yang kita hadapi di Maluku Utara dan Indonesia secara keseluruhan dalam hubungan dengan masifnya hilirisasi sektor industri adalah masalah kesalingan. Pemerintah seolah-olah terpisah dari masyarakatnya, dan masyarakat seolah-oleh terpisah dari lingkungannya, dan semuanya itu terpisah dari Sang Ilahi. Keterpisahan ini merusak relasi kesalingan, antara manusia, alam, dan Sang Ilahi. Realitas yang sejak lama telah digelisahkan oleh Martin Buber (Ich un Du, 1923), filsuf yang melihat keterasingan manusia yang disebabkan oleh dominasi relasi objektifitas dan utilitarianisme.
Buber dalam bukunya Ich un Du atau dalam terjemahannya menjadi I and Thou mengidentifikasi pola relasi dan menemukan dua tipe relasi, yaitu: relasi instrumentalis-objektif dan relasi otentik-dialogis. Relasi instrumental-dialogis, atau Ich-Es/I-It (Aku-It), manusia memperlakukan sesama manusia, alam, bahkan Tuhan sebagai objek yang dapat dimanfaatkan. Sementara relasi otentik-dialogis, Ich-Du/I-Thou (Aku-Engkau) memandang kehadiran sesama manusia, alam, dan Tuhan sebagai subjek yang utuh sekaligus suci (Buber, n.d.).
Tipe relasi yang diutarakan Buber sejatinya sudah dihidupi komunitas-komunitas adat di pulau Halmahera yang menjalin relasi instrinsik antara manusia, alam, dan Sang Ilahi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan intrinsik ini dihidupi dan menjadi kesadaran spiritualitas keseharian. Jadi jika sejumlah komunitas di Halmahera menunjuk suatu tempat dan menyebutnya de ma dutu oka (ada pemiliknya), itu bukan persoalan pembuktian bahwa di tanah ini atau pohon dan batu tertentu ada penunggunya, melainkan rasa hormat terhadap tempat-tempat tertentu itulah yang mampu membentuk pola pikir dan cara manusia berelasi dengan alam yang di dalamnya mengalami kehadiran Sang Ilahi.
Dari relasi otentik-dialogis Buber dan religiusitas orang Halmahera kita belajar melihat fakta hilirisasi sektor industri di kepulauan Halmahera, bahwa pulau Halmahera tidak dapat dianggap sebagai objek ekonomi atau statistik produksi. Pulau Halmahera adalah subjek yang harus dihargai dan dipelihara. Itulah sebabnya, kita perlu menumbuhkan kembali perspektif relasi otentik yang memandang pulau Halmahera tidak terbatas pada objek yang terus dieksploitasi; sebaliknya, kita membutuhkan kesadaran ekologis yang mengembalikan hubungan intrinsik antara manusia, alam, dan Sang Ilahi. Aku dan Engkau sesama manusia dan alam terdapat kehadiran Sang Ilahi secara langsung dan personal.
Menjadi Pemberi Pelukan
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan peluk sebagai dekap dan depa. Peluk atau pelukan berarti dekapan dua tangan, dan memeluk berarti meraih seseorang ke dalam dekapan kedua tangan yang dilingkarkan. Sebagai contoh, dalam beberapa bahasa lokal komunitas di Maluku Utara kita juga menemukan kata peluk atau memeluk seperti: Maku kululu/Kololo atau ko long (Ternate), Kololo (Loloda), Kololo atau Ko’o (Tobelo).
Kesalingan memeluk dan yang dipeluk selalu karena dasar otentik (Aku-Engkau). Itulah sebabnya tidak ada seseorang yang menginginkan dipeluk bila tidak ada relasi otentik, atau tiba-tiba seseorang memeluk orang lain sekalipun berada didekatnya. Memeluk Halmahera adalah bentuk pelampauan (beyond) gestur fisik sebagaimana memeluk seseorang, melainkan mencakup penerimaan secara utuh, rekonsiliatif, dan tanpa syarat.
Henri J. M Nouwen dalam bukunya The Return of the Prodigal Son, menggaris bawahi pelukan sebagai keamanan dan pelukan (aspek fisik dan emosional), sekaligus pelukan sebagai kasih Ilahi tanpa syarat (aspek spiritual). Pulau Halmahera yang rapuh memerlukan pelukan otentik, kasih sayang dari penghuninya untuk terus merawatnya, tanpa membiarkannya dilukai lagi oleh orang-orang yang melihatnya sebagai objek semata.
Sudah tugas penghuni pulau Halmahera untuk memperluas dekapan dalam melestarikan pulau Halmahera, menawarkan pemulihan ekologis, dan perjamuan sukacita bagi semua keanekaragaman hayati. Ini membutuhkan kelepasan dari keterikatan pada ekonomi, merangkul dan berbagi kebahagiaan bukan karena mendapatkan keuntungan materil, tapi karena punya pulau Halmahera. Tujuannya adalah memperjuangkan kelestarian alam dan mengasihi Halmahera tanpa syarat apapun.
Secara keseluruhan memeluk Halmahera adalah perilaku etis. Mendorong kesalingan antara manusia, alam, dan Sang Ilahi. Masyarakat lingkar tambang terus belajar tentang hak-hak lingkungan. Pemerintah daerah terus mengadvokasi masyarakat dan memperjuangkan kelangsungan keanekaragaman hayati. Jika pelukannya tulus, pulau Halmahera akan tetap menjadi rumah bersama yang diperjuangkan daripada dikorbankan, sebab kehidupan di pulau ini bukan warisan yang dapat dijual, tetapi yang harus kita jaga, mari peluk Halmahera!
(""/"")