![]() |
Foto: Cendekiawan Bobo Setelah Melakukan Rapat Internal |
Sikap penolakan ini disampaikan dalam pertemuan tokoh masyarakat dan cendekiawan di Labuha pada Minggu (17/8/2025).
Koordinator cendekiawan Desa Bobo, Yaret Colling, menegaskan penolakan tersebut didasari kekhawatiran terhadap dampak lingkungan yang berpotensi merusak ekosistem, mengancam mata pencaharian warga yang bergantung pada pertanian dan perikanan, serta mengganggu keberlanjutan generasi mendatang.
“Sikap ini adalah bentuk komitmen untuk melindungi lingkungan dan kehidupan kami dari potensi dampak negatif aktivitas tambang,” ujar Yaret.
Warga juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Pasal 28H UUD 1945 yang menegaskan hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Kami berharap pemerintah dan pihak terkait mendengarkan aspirasi kami serta mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kami akan terus mengawal isu ini dan melakukan advokasi agar keputusan menolak aktivitas tambang benar-benar final,” tambah Yaret.
Penolakan warga Desa Bobo sebelumnya dituding sebagai bentuk provokasi. Namun, tuduhan itu dibantah oleh para tokoh masyarakat.
![]() |
Foto: Yaret Colling (Kooordinator Cendekiawan Bobo) |
Meidi Noldi Kurama, anggota cendekiawan lokal, menegaskan bahwa menyampaikan penolakan adalah hak konstitusional warga negara dalam sistem demokrasi.
“Menuduh penolak tambang sebagai provokator justru melemahkan posisi warga yang sedang memperjuangkan kepentingan bersama,” tegas Noldi.
Menurutnya, tudingan provokator diduga datang dari pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan perusahaan tambang.
Ia mengingatkan bahwa sikap semacam itu berpotensi memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.
Warga Desa Bobo menegaskan akan konsisten menolak aktivitas pertambangan. Mereka meminta pemerintah pusat maupun daerah bersikap bijak, transparan, serta mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan korporasi.
“Lingkungan hidup yang baik adalah hak kami. Kami menolak aktivitas tambang bukan karena provokasi, tetapi karena kesadaran dan tanggung jawab terhadap masa depan desa kami,” tutup Yaret Colling dalam pernyataannya kepada kritikost.id.(RD/Red)