![]() |
Foto: Logo PT. HPAL |
Pemutusan hubungan kerja (PHK) ini diduga kuat sarat diskriminasi terhadap karyawan lokal dan dilakukan tanpa prosedur yang jelas.
Mince menuturkan kepada Kritikpost.id kronologi pemecatan yang dialaminya bersama Indah melalui pesan WhatsApp pada Jumat (11/7/2025).
Ia mengaku dipanggil mendadak oleh dua staf HRD PT. HPAL, Adi dan Rizki, dan diberi dua pilihan yang mengejutkan: mengundurkan diri (resign) atau menerima PHK tanpa pesangon.
“Pertanyaan itu sangat mengejutkan dan terkesan melecehkan kami sebagai pekerja lokal. Kami masih ingin bekerja karena ada tanggung jawab keluarga.
Masalah yang ada sebenarnya hanya kesalahpahaman yang bisa dibicarakan baik-baik,” ungkap Mince dengan nada kecewa.
Kronologi bermula pada Sabtu (5/7), saat Mince dan Indah pulang kerja dan merasa lapar. Mereka memasak mie instan menggunakan wajan milik karyawan lain di mess perusahaan.
Wajan tersebut kemudian dikembalikan ke tempat semula pada Senin (7/7). Namun, peristiwa sepele itu justru dijadikan alasan oleh pihak HRD untuk memberhentikan mereka.
“Yang lebih menyakitkan, salah satu HRD menyebut perbuatan kami sebagai pelanggaran berat bahkan sampai dikategorikan kriminal.
Padahal kami hanya meminjam wajan untuk makan karena lapar setelah bekerja,” ujarnya.
Mince yang telah bekerja lebih dari empat tahun di Departemen HR&GA sebagai karyawan tetap mengaku terkejut ketika mendengar dirinya tidak akan mendapatkan pesangon atas PHK tersebut.
![]() |
Foto: Surat PHK PT. HPAL (Kiri) dan Mince (Kanan) |
Pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan pertambangan seperti PT. HPAL seharusnya mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, perusahaan wajib memastikan alasan PHK sah secara hukum, memberikan surat pemberitahuan minimal 14 hari sebelumnya, melakukan perundingan bipartit jika ada keberatan, hingga membayar pesangon kepada pekerja yang di-PHK.
Jika perundingan bipartit gagal, perusahaan wajib membawa kasus ke Dinas Tenaga Kerja untuk mediasi atau konsiliasi, bahkan ke Pengadilan Hubungan Industrial bila diperlukan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak manajemen PT. HPL, termasuk dua staf HRD yang disebut-sebut terlibat dalam pemecatan, belum memberikan tanggapan resmi atas dugaan diskriminasi terhadap pekerja lokal tersebut.
Kasus Mince dan Indah kini menjadi sorotan publik karena dinilai mencerminkan lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja lokal yang berhadapan dengan perusahaan tambang besar di wilayah Maluku Utara.
Masyarakat mendesak pemerintah daerah untuk turun tangan dan memastikan keadilan ditegakkan.(RD/Red)