CANGA: Sosialisme Lokal dan Kearifan Politik

Editor: BIRO HALSEL

Foto: Uty, O Canga Maduru
             Oleh: Uty, O Canga Maduru

DI TENGAH derasnya arus modernisasi dan penetrasi globalisasi, masyarakat adat di Indonesia terus menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas, nilai-nilai kolektif, serta sistem pengetahuan lokal mereka. 

Salah satu komunitas adat yang memiliki warisan sosial-politik khas dan unik adalah masyarakat Tobelo-Galela, dua etnis besar di bagian utara Pulau Halmahera, Maluku Utara. 

Dalam masyarakat ini dikenal suatu sistem aliansi dan solidaritas tradisional yang disebut Canga. 

Istilah ini tidak hanya merujuk pada strategi pertahanan tradisional, tetapi juga mencerminkan watak kolektif masyarakat dalam mengelola konflik, memperkuat ikatan sosial, dan merumuskan sistem keadilan serta musyawarah lokal. 

Dalam konteks inilah tulisan ini hendak menjelaskan Canga sebagai bentuk sosialisme lokal dan kearifan politik masyarakat adat Tobelo-Galela.

Tulisan ini bertujuan untuk sedikit membongkar makna filosofis, historis, dan sosial-politik dari konsep Canga, serta menempatkannya sebagai salah satu warisan pemikiran sosial lokal yang bisa menjadi sumber pembelajaran bagi pembangunan komunitas di era kontemporer.

Secara geografis, masyarakat Tobelo-Galela mendiami wilayah utara Pulau Halmahera yang terdiri dari hutan tropis, sungai, dan pesisir. 

Sejak masa prasejarah, kawasan ini telah dihuni oleh kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk unit sosial soa (klan) dan desa adat yang berotonomi. 

Seiring dengan perkembangan waktu, hubungan antar-soa dan desa adat membentuk sistem federatif yang disebut Canga.

Catatan kolonial awal, seperti yang ditulis oleh J.G.F. Riedel (1870) dan Ernst Vatter (1932), menunjukkan bahwa masyarakat Tobelo-Galela memiliki struktur sosial egaliter yang berbasis pada konsensus dan musyawarah. 

Riedel menuliskan bahwa: "In de dorpen van Halmahera heerscht geen koning, maar het volk besluit gezamenlijk door overleg der oudsten van elke soa" (Tidak ada raja yang berkuasa di desa-desa Halmahera, melainkan rakyat memutuskan bersama lewat musyawarah para tetua soa). 

Vatter (1932) juga mengamati bahwa solidaritas antar klan dalam masyarakat Galela ditunjukkan melalui jaringan ikatan adat dan kewajiban kolektif dalam menghadapi serangan dari luar.

Dalam sistem ini, para pemimpin adat dipilih berdasarkan ketokohan, bukan berdasarkan garis keturunan elit atau kekayaan. 

Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar masyarakat Tobelo-Galela mencerminkan semangat egalitarian dan kolektivisme, dua nilai kunci dalam sosialisme.

Apa Itu Canga?

Secara terminologis, Canga merujuk pada bentuk konfederasi antar kelompok soa atau kampung adat yang dibentuk atas dasar kebutuhan untuk mempertahankan diri dari ancaman luar, seperti serangan kelompok perompak, perbudakan, intervensi kekuasaan kerajaan, maupun kolonialisme Belanda. 

Namun, lebih dari sekadar sistem pertahanan, Canga juga merupakan sistem sosial-politik yang melandasi cara masyarakat Togale menyelesaikan konflik, mengelola sumber daya, dan menjaga tatanan kolektif.

Menurut kajian lisan dan naskah adat yang masih dituturkan di beberapa desa Tobelo-Galela, Canga berarti juga "berani berdiri bersama". 

Artinya, ia adalah bentuk keberanian bukan untuk menyerang, tetapi untuk mempertahankan nilai-nilai bersama. 

Ia menjadi simbol kesatuan hati, pikiran, dan tindakan dalam menjawab tantangan kolektif. 

Seorang tetua adat di Desa Duma, Tobelo, menyampaikan dalam wawancara (LSM Bumi Tobelo Raya, 2022): "Canga itu bukan hanya pasukan, tapi cara kita saling percaya dan tidak membiarkan satu soa pun berdiri sendiri."

Penulis menyebutnya sosialime lokal, sebuah konsep yang merujuk pada bentuk kolektivitas yang tumbuh dari pengalaman historis masyarakat dalam mengatur kehidupan bersama, bukan berdasarkan ideologi impor, tetapi dari praksis hidup sehari-hari. 

Canga, dalam hal ini, memiliki sejumlah ciri yang paralel dengan prinsip-prinsip sosialisme:

1. Kolektivitas dan Musyawarah: Semua keputusan penting dalam Canga diambil melalui musyawarah dan mufakat. Tidak ada dominasi kekuasaan tunggal.Ini mencerminkan prinsip demokrasi langsung yang merupakan jantung organisasi.

2. Redistribusi Tanggung Jawab dan Perlindungan: Dalam sistem Canga, setiap individu berhak mendapat perlindungan kolektif dan berkewajiban melindungi yang lain. Tanggung jawab sosial ini mencerminkan asas keadilan distributif.

3. Kritik sebagai Tindakan Etis: Dalam nilai-nilai Canga, keberanian menyampaikan kritik bukan dianggap permusuhan, melainkan bentuk kasih sayang sosial. Kritik lahir dari niat tulus untuk memperbaiki komunitas, bukan merusaknya.

4. Pengelolaan Sumber Daya Bersama: Sumber daya alam seperti hutan, sungai, dan ladang dikelola secara bersama untuk kepentingan soa dan kampung. Tidak dikenal kepemilikan privat yang eksklusif dalam skema tradisional.

Dengan demikian, meski tidak lahir dari kerangka sosialisme barat, Canga menyiratkan sebuah praktik sosialisme berbasis adat dan pengalaman kolektif masyarakat Tobelo-Galela. 

Ia adalah bentuk proto-sosialisme yang lahir dari kearifan komunitas dalam merawat kehidupan bersama.

Canga sebagai Kearifan Politik Lokal

Dalam masyarakat modern yang cenderung memisahkan politik dari etika, Canga mengajarkan bahwa politik adalah bagian dari etika komunitas. 

Pemimpin dalam sistem Canga bukanlah penguasa, melainkan pelayan kolektif. Politik bukan sarana untuk dominasi, tetapi ruang untuk menjaga keseimbangan antar-soa.

Seperti dikutip dari narasi reflektif masyarakat lokal:

"Togale itu sarat dengan kritik, itu hal biasa. Karena kritik tidak bertujuan untuk meruntuhkan Togale tetapi membenahinya supaya tetap kuat dan kokoh... Kritik harus lahir dari hati nurani yang suci bukan karena ketidaksukaan terhadap personal tertentu, tetapi karena cinta Togale..."

Dalam kerangka ini, Canga menjadi sistem politik yang menampung perbedaan dan kritik, tetapi tetap menjaga kesatuan. Ia menolak politik kekuasaan yang memecah-belah dan menggantikannya dengan politik kasih sayang dan tanggung jawab sosial sebagai resonansi dari "o adat de o dora".

Hari ini, masyarakat Tobelo-Galela menghadapi tantangan baru: kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang dan deforestasi, masuknya kapitalisme global yang meminggirkan struktur adat, serta krisis kepemimpinan yang koruptif. 

Dalam kondisi demikian, merevitalisasi nilai-nilai Canga menjadi sangat penting.

Konflik sosial di sekitar wilayah Kao dan Malifut (2011-2019) yang melibatkan perusahaan tambang dan masyarakat lokal menunjukkan bagaimana struktur nilai Canga dilemahkan oleh intervensi kekuasaan eksternal. 

Pun hari ini, di Obi dan bahkan daerah lain, mengalami persoalan serius tentang eksistensi Canga oleh gangguan dari luar. Sehingga, dalam kondisi demikian, merevitalisasi nilai-nilai Canga menjadi sangat penting.

Spirit Canga hari ini bukan berarti kembali ke zaman perang antar kampung, tetapi menjadikan keberanian moral, solidaritas sosial, dan kritik membangun sebagai dasar etika komunitas agar tidak ada korban untuk generasi dengan alasan apapun apalgi pembangunan. 

Canga harus dimaknai sebagai keberanian untuk menyuarakan kebenaran, tangguh menghadapi tantangan zaman, dan setia pada prinsip-prinsip keadilan sosial dan ekologis.

Kesimpulan

Canga dalam masyarakat Tobelo-Galela bukan hanya sistem aliansi pertahanan masa lalu, tetapi juga simbol dari tata nilai sosial-politik yang kolektif, etis, dan adil. 

Dalam konteks kajian sosial, ia dapat dibaca sebagai bentuk sosialisme lokal yang lahir dari pengalaman masyarakat adat dalam menjaga hidup bersama. 

Canga juga merupakan cermin kearifan politik yang mengutamakan keberanian moral, tanggung jawab sosial, dan keberanian menyuarakan kebenaran demi kebaikan bersama.

Revitalisasi nilai-nilai Canga menjadi penting bukan untuk romantisasi masa lalu, tetapi sebagai fondasi etika politik dan pembangunan komunitas yang berakar, tangguh, dan berkelanjutan di tengah tantangan zaman.

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.