Wajah Intoleransi di Indonesia pada Usia 80 Tahun

Editor: KRITIKPOST.ID

Foto: Sefnat Tagaku, Sekretaris Dpc GAMKI Halsel

                                  Oleh : 

Sefnat Tagaku, Sekretaris DPC GAMKI Halsel 


Mengapa Harus Merdeka?

Indonesia memasuki usia 80 tahun setelah deklarasi kemerdekaan digaungkan tepat pada, 17 Agustus 1945. 

Di usia yang cukup tua ini, kita rasa-rasanya perlu banyak berefleksi atas perjalanan bangsa yang terus menghadapi berbagai dinamika. 

Mengobrak-abrik persatuan, krisis moral dan kemanusiaan, persoalan kesejahteraan, krisis keadilan, masifnya tindakan korupsi, serta masih banyak lagi problem bangsa yang tengah kita hadapi. 

Hal ini perlu mengundang hati untuk hadir, sembari melihat jauh kebelakang bagaimana perjuangan para pionir bangsa dalam mengupayakan dan mewujudkan kemerdekaan yang sekarang sedang kita nikmatinya. 

Paling tidak, kita perlu memahami kembali tentang faktor apa yang mendorong lahirnya kesadaran bahwa betapa pentingnya Indonesia harus merdeka. 

Jika dilihat dengan teliti dalam historis perjalanan bangsa mengapa para pendahulu menuntut kemerdekaan, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang dapat dijadikan alasan kongkrit. 

Pertama, karena situasi yang mencekam atas ketertindasan akibat dari penjajahan bangsa asing. Kedua, mengupayakan harkat dan martabat bangsa agar tidak diinjak-injak oleh bangsa lain, serta yang ketiga adalah keinginan dan tekad tinggi untuk menentukan nasib di negeri sendiri. 

Ketiga hal ini merupakan prinsip dari perjuangan melawan demi kemerdekaan.

Meski kemerdekaan baru diraih pasca kekalahan Jepang (1945), namun tentang perjuangan memperebut cita-cita tersebut telah dimulai jauh sebelumnya yang ditandai dengan kehadiran organisasi-organisasi kepemudaan, seperti; Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. 

Dalam artikel yang dirilis oleh pemerintah kabupaten Sarolangun (2024), perlawanan para orang-orang pribumi terhadap para penjajah telah dimulai sejak peristiwa perang Diponegoro (1825-1830), dan perang Aceh (1873-1904) atas penjajahan yang dilakukan oleh Jepang. 

Artinya, cita-cita bangsa untuk kemerdekaan telah lama tergantung dalam harapan yang besar. 

Perjalanan waktu yang panjang, semangat dan kesadaran itu terus memuncak, seluruh elemen orang muda, dari satu wilayah ke wilayah yang lain, berkumpul dalam satu titik dan mengucapkan sumpah, tepat pada; 28 Oktober 1928, tujuh belas tahun sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. 

Dimana momentum tersebut kita kenal dengan "Hari Sumpah Pemuda". 

Pasca pengucapan sumpah pemuda, kekuatan 'melawan' para penjajah semakin kuat. Kekuatiran dari bangsa asing perlahan terlihat, namun butuh waktu, pikiran, tenaga, bahkan nyawa dalam setiap medan perjuangan. 

Ini sesuatu yang berat. Waktu terus berjalan, kesadaran semakin terbuka, bahwa "tidak ada kata untuk menyerah". Kalimat sakti terus terucap, "Mati melawan, atau diam tertindas", menjadi spirit yang kuat.

Meski demikian, pada titik-titik perjuangan, disaat kemerdekaan hampir dicapai, perdebatan-perdebatan hangat terjadi  di internal para pejuang bangsa, antara mendirikan negara ini dengan paham nasionalisme atau sarekat Islam. 

Namun hingga proklamasi kemerdekaan (pasca peristiwa Rengasdengklok), kesadaran tentang pluralisme semakin menguat dan mengharuskan Indonesia tetap menganut paham nasionalisme dan menjunjung tinggi perbedaan.

Dalam fase inilah, kita dapat berkesimpulan dengan mutlak, bahwa tujuan dari 'merdeka' adalah bebas dari ketertindasan, termaksud dalam hal memeluk keyakinan beragama.

Perbedaan menjadi hal mutlak tanpa ada kompromi. Ia (perbedaan) menjadi kekuatan sepenuhnya di bangsa ini.

Intoleransi dan Refleksi 80 Tahun

Pasca MERDEKA, Indonesia memang terus menghadapi berbagai realitas kehidupan yang seolah menyudutkan makna "kemerdekaan" itu. 

Sebagai negara yang memiliki keberagaman dari berbagai aspek kehidupan, Indonesia kerap menjumpai masalah perbedaan, suku, ras, budaya, bahasa, bahkan khususnya agama. 

'Intoleransi' antar umat beragama menjadi salah satu penyakit ditengah-tengah negara yang plural.

Menurut Hunsberger (1995), intoleransi merupakan suatu tindakan negatif yang muncul dari sebuah kesadaran manusia. 

Bagi Hunsberger, intoleransi ada karena prasangka yang berlebihan dari manusia satu terhadap lainnya (over generalized beliefes), serta pemahaman tentang keyakinan yang secara keliru disederhanakan dalam ruang lingkup sosial.

Pandangan Hunsberger diatas dapat disimpulkan secara sederhana dan kongkrit, bahwa tindakan intoleransi hadir melalui manusia yang tidak dapat menerima perbedaan. 

Keberagaman seolah menjadi ancaman berat bagi suatu komunitas tertentu. Biasanya, kelompok seperti ini memiliki keinginan yang tinggi untuk mendominasi dari kelompok yang lain.

Di Indonesia, kita kerap menjumpai problem dalam wujud tindakan intoleransi. 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sedikitnya ada delapan kasus tindakan intoleransi di Indonesia sepanjang tahun 2025. 

Setelah sebelumnya terjadi di Sukabumi dan Depok, peristiwa serupa kembali terjadi di Padang (EspoNews : Komnas Perempuan Catat 8 Kasus Intoleransi Sepanjang 2025).

Mirisnya, peristiwa intoleransi yang dilakukan tidak sekedar membubarkan jemaat yang sementara beribadah, tetapi sekaligus menyertakan dengan tindakan presekusi anak seperti yang terjadi di Kota Padang, Sumatera Barat. 

Peristiwa-peristiwa diatas tentu sepenuhnya menjadi cerminan tentang situasi dan kondisi Indonesia, sekaligus memberi tanda bahwa Indonesia berada dalam krisis toleransi.

Padahal, secara tegas dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 2, yang menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya atau kepercayaannya. 

Sayangnya, jaminan negara berdasarkan amanat regulasi diatas tidak mampu diberikan sepenuhnya kepada setiap warganya.

Lantas, bagaimana makna kemerdekaan dapat disederhanakan dalam kehidupan bersosial ? Kemerdekaan seperti apa yang mau digaungkan di negeri ini ? Bagaimana cara menyebut kata "MERDEKA" dan memaknainya pada situasi yang masih tertindas ? 

Biarlah pertanyaan-pertanyaan ini menjadi refleksi di usia 80 tahun. 

DIRGAHAYU INDONESIA KU !!(RD/Red)

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.