Maluku Utara Dalam Pusaran Industri Ekstraktif

Editor: KritikPost.id
Gambar: Proses pertambangan ekstraktif (Meta AI).

Oleh: Willyam L. Ngongira

Maluku Utara, sebuah Provinsi Kepulauan di bagian Timur Indonesia, menyimpan kekayaan alam dan sejarah yang luar biasa. 

Wilayah ini pernah menjadi pusat peradaban maritim dunia dalam era Kesultanan Ternate dan Tidore, yang dikenal luas sebagai poros perdagangan rempah-rempah global pada abad ke-15 hingga 17 M.

Kini bukan lagi rempah yang menjadi rebutan, melainkan nikel, emas, dan berbagai mineral strategis lainnya. 

Proyek-proyek pertambangan (dibaca: industri ekstraktif) berskala besar menjadikan Maluku Utara sebagai zona vital dalam rantai pemasok industri logam dunia, khususnya untuk kebutuhan energi baru seperti baterai kendaraan listrik.

Transformasi ini membawa tantangan besar bagi keberlanjutan lingkungan, sosial, dan budaya. Kendati demikian, Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah tidak akan selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat lokal jika potensi sumber daya yang ada tidak dikelola dengan adil (Colier, 2007).

Baru-baru ini, Maluku Utara meraih prestasi sebagai salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Indonesia. 

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Utara mencapai Rp.95,79 Triliun pada tahun 2024, dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia, yakni sebesar 13,73%. 

Kemudian disusul oleh Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur yang juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan (Data BPS, 2024).

Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang cukup signifikan ini menunjukkan potensi besar wilayah tersebut dalam pengembangan sektor-sektor ekonomi.

Kendati demikian, perlu diperhatikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berfluktuasi tergantung pada berbagai faktor, salah satunya termasuk kondisi ekonomi global dan lokal yang juga mempengaruhinya.

Di Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur menjadi pusat aktivitas nikel, sementara tambang emas juga terdapat di Halmahera Utara dan Obi. Perusahaan-perusahan besar seperti PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), PT. Nusa Halmahera Minerals (NHM), dan PT. Harita Group adalah sekian dari banyaknya perusahan pertambangan yang beroperasi di wilayah Maluku Utara.

Namun, pertumbuhan ini juga tidak terlepas dari sejumlah persoalan lingkungan dan sosial yang begitu kompleks di wilayah Maluku Utara. 

Jika proses hilirisasi mineral ini tidak ada penguatan dan partisipasi kajian konstruktif dari institusi lokal, maka hal ini hanya akan memperbesar ketimpangan antara pusat dan daerah (Sachs & Warner, 2001).

Dengan hadirnya industri ekstraktif ini maka tentu akan memiliki dampak diberbagai sektor, baik positif ataupun negatif, seperti ekonomi, lingkungan hidup, dan sosio-budaya lokal. 

Di sektor ekonomi, dampaknya dapat terlihat dari pertumbuhan PDRB, sekalipun distribusi manfaatnya masih belum merata. 

Selain itu, kerusakan lingkungan yang parah, seperti deforestasi hutan, pencemaran air, kerusakan ekosistem laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati merupakan sisi lain dari dampak lingkungan hidup akibat aktivitas industri ekstraktif ini.

Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada tahun 2022 menyebutkan bahwa lebih dari 30 ribu hektare hutan telah dikonversi menjadi konsesi tambang. 

Hal ini tentu saja memberi dampak serius bagi keberlangsungan lingkungan hidup, dan menjadi attention bagi semua pihak, terutama Pemerintah sebagai penyedia akses dan pemberi izin eksplorasi industrial.

Dari sisi sosial dan budaya, konflik lahan dan pergeseran nilai kebudayaan lokal juga mulai nampak terlihat. Hilangnya tanah adat dan kearifan lokal menjadi masalah besar ditengah pusaran industri ekstraktif yang terjadi. Inilah dampak ketika alam dirusak, sehingga budaya pun ikut runtuh karena keduanya tak terpisahkan dalam tatanan masyarakat adat (Peluso & Watts, 2001).

Untuk menjawab kerentanan akibat dari aktivitas industri ekstraktif ini, maka pertama, perlu adanya regulasi ketat dan penegakan hukum harus menjadi prioritas. Audit atas lingkungan hidup perlu dan wajib dilakukan secara berkala.

Kedua, pengembangan ekonomi alternatif seperti ekowisata, dan pertanian berkelanjutan, serta perikanan juga penting untuk didorong. 

Hal ini seenggaknya mampu meminimalisir dampak negatif dari industri ekstraktif di sektor lingkungan hidup, dan sekaligus memberi dampak positif di sektor ekonomi.

Ketiga, pembangunan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) lokal sangat penting agar tidak menjadi penonton di tanah sendiri. 

Ini dapat dilakukan dengan mendorong Pemerintah untuk memberi subsidi pendidikan yang layak dan tepat sasaran, serta peningkatan aksebilitas pendidikan, dan peningkatan kualitas pendidikan bagi semua individu.

Keempat, pengakuan atas tanah dan hutan adat menjadi fondasi keadilan ekologis. Perlu didorong kepada Pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tanah Adat sebagai landasan hukum untuk memastikan hak-hak masyarakat adat dapat terlindungi.

Selain itu, teori Ekologi Politik (Political Ecology) dapat menjadi pendekatan kritis dalam melihat ketimpangan kekuasaan dalam pengelolaan SDA, serta pentingnya keadilan lingkungan dan sosial sebagai kerangka pembangunan. 

Dengan memakai pendekatan ekologi politik ini, kita dapat menyadari bahwa konflik sumber daya bukan hanya sekadar isu teknis, tetapi lebih dari itu adalah soal keadilan dan kekuasaan (Robbins, 2012).

(""/"")
Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.