![]() |
Melky Molle, Ketua Bidang Pemuda GMIH. |
Generasi muda yang hidup di era ini kerap disebut sebagai "generasi digital native", yakni mereka yang tumbuh dalam lanskap teknologi yang terhubung tanpa henti. Menurut Marc Prensky (2001), generasi ini memiliki cara berpikir dan belajar yang berbeda dibanding generasi sebelumnya. Hal ini berimplikasi langsung pada cara mereka memahami iman, beribadah, dan berelasi dengan institusi seperti gereja. Jika gereja gagal membaca perubahan ini, maka jarak spiritual akan semakin melebar.
Di Halmahera, realitas tersebut mulai tampak. Banyak pemuda gereja merasa ibadah dan pelayanan tidak lagi kontekstual dengan dunia mereka. Sebagaimana ditunjukkan oleh Teori Identitas Sosial dari Tajfel dan Turner (1979), individu membutuhkan keterikatan dengan kelompok untuk memperkuat identitas diri. Ketika gereja gagal menjadi ruang artikulasi identitas anak muda, maka mereka cenderung mencari komunitas alternatif di luar gereja, termasuk di dunia digital.
Dengan demikian seperti yang disampaikan oleh Ketua Sinode GMIH Dr. Demianus Ice, bahwa peristiwa Kenaikan Yesus justru menjadi momen pembaruan. “Yesus tidak meninggalkan dunia, Ia mempercayakan dunia kepada para murid. Sekarang, para murid itu adalah kita—termasuk pemuda gereja yang hidup di tengah media sosial dan teknologi,” jelasnya. Ia mendorong gereja untuk membangun literasi digital yang etis dan spiritual.
Sementara itu, ditengah situasi ini, kita perlu menggarisbawahi pentingnya ruang kolaboratif. “Anak muda sekarang butuh partisipasi, bukan sekadar instruksi. Gereja harus menjadi tempat dialog dan aksi, bukan hanya ritus,” ujarnya. Baginya, gereja di era digital harus menjadi komunitas transformatif yang memberi tempat bagi kreativitas dan keberanian bersuara.
Di sisi lain, teknologi juga bisa menjadi jembatan spiritual. Media sosial, podcast, bahkan game rohani dapat menjadi kanal pewartaan iman jika digunakan dengan bijak. Howard Rheingold (1993) menyebut fenomena ini sebagai "komunitas virtual"—relasi bermakna yang bisa terbentuk bahkan tanpa kehadiran fisik. Gereja harus hadir pula dalam ranah ini, mendampingi generasi muda untuk tetap membumi dalam iman, meski berada di langit digital.
Namun, tantangan tidak berhenti pada soal media. Disrupsi sosial, ketimpangan pendidikan, dan krisis ekologi di kawasan kepulauan seperti Halmahera juga menjadi persoalan riil yang dihadapi generasi muda. Kenaikan Yesus, yang menandai peralihan dari kehadiran fisik ke kehadiran spiritual dan kolektif melalui gereja, menjadi simbol penting bahwa pemuda harus siap memikul tanggung jawab sosial dan moral di tengah masyarakat.
Dengan demikian, makna Kenaikan Kristus di era digital tidak hanya tentang iman pribadi, tetapi juga tentang peran aktif dalam transformasi sosial. Gereja harus menjadi ruang di mana pemuda dibentuk, diberdayakan, dan didorong menjadi agen perubahan di tengah tantangan zaman. Ini sejalan dengan visi eklesiologis bahwa gereja bukan bangunan, melainkan komunitas yang hidup dan bergerak dalam sejarah.
Kenaikan Yesus adalah panggilan untuk naik lebih tinggi dalam visi dan spiritualitas, tetapi tetap berpijak dalam konteks sosial dan teknologi saat ini. Di tangan generasi muda Halmahera yang berani berpikir kritis dan bertindak kreatif, masa depan gereja bukanlah ancaman, tetapi harapan.
---
Daftar Pustaka
Prensky, M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants. On the Horizon, 9(5), 1–6.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An Integrative Theory of Intergroup Conflict. In W.G. Austin & S. Worchel (Eds.), The Social Psychology of Intergroup Relations (pp. 33-47). Brooks/Cole.
Rheingold, H. (1993). The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier. Addison-Wesley.
Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. NYU Press.
Castells, M. (2010). The Rise of the Network Society. Wiley-Blackwell.