Oleh : Melki Molle, S.Th., M.Pd
(Akademisi Uniera)
"Masuk kampus adalah jalan lurus membangun kesadaran, mempertegas jati diri, supaya tau diri". Mereka yang disebut mahasiswa (siswa besar dan dewasa) mutlak disadarinya. Memberi diri untuk diproses sedemikian rupa, sebagai proses paideia (pendidikan) bertujuan menjernihkan rasionalitas, lurus berpikir, dan mengenal diri .
Sebagai proses paideia (pendidikan) untuk mengenal diri sesungguhnya menegasikan secara insaig bahwa kemandirian mahasiswa menjadi indikator-indikator capaian, didesain menjadi jalan atau cara bagaimana mahasiswa di rawat supaya bakat dan kompentensinya ditemukan dari dalam dirinya. Upaya menemukan kesadaran diri dan kompetensi diri mahasiswa, tidaklah berjalan simultan, dan begitu saja.
Upaya menemukan bakat dan keasadaran diri sebagai proses membangun manusia yang berkeadaban, berakhlak, dan berkarakter yang khalos aghatos (berkeutamaan), dijadikan wacana yang tak berkesudahan sampai saat ini.
Karena itu, pertanyaan mendasarnya adalah mahasiswa berkarakter macam manakah yang diharapkan oleh negara ? Saya kira pertanyaan ini tidaklah mudah untuk dijawab. Kurikulum demi kurikulum di lahirkan bahkan ada pameo yang dinyatakan oleh pemerhati pendidikan, bahwa Indonesia belum serius mengurusi pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia, karena ganti menteri, ganti kurikulum, ganti menteri, ganti kurikulum, sementara kurikulum adalah roh pendidikan itu sendiri yang menjadi utama dalam proses pembudayaan, mencerdaskan kehidupan bangsa demi kemajuan negara. Tetapi pada prosesnya, disinyalir bahwa hakekat pendidikan bukan lagi berbasis kesadaran, melainkan mahasiswa di bentuk untuk kepentingan pasar (Wibowo, 2014.
Francis Fukuyama menyatakan sistem demokrasi liberal juga sangat mempengaruhi proses kesadaran masyarakat, Tetapi sistem demokrasi liberal ada kelemahannya yaitu demokrasi liberal membuka kebebasan individu dan komunitasnya untuk memperkuat keterberian identitasnya.
Upaya mencerdaskan bangsa sebenarnya bertujuan bagi kehidupan masyarakat secara merata tanpa melihat identitas dan isme sentris, tetapi sudah terang menderang bahwa pendidikan diagadrungi oleh sentimen-sentimen primordialisme, didalamnya praktek demokrasi. Karena itu kita kembali kepada asas tunggal sebagai dasar pijak dalam rangka memikirkan arah dan tujuan pendidikan yang Pancasilais dan berbineka tunggal Ika, sebagai semboyan para leluhur bangsa memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa, dan cinta tanah air.
Jika pendidikan hanya bertujuan menjawab kebutuhan pasar, dan bertujuan memperkuat identitas komunitas, maka disadari atau tidak, kita sedang berada pada jalan rapuh yang menunggu waktu menuai ancaman pengkotak-kotakan identitas, demi kepentingan pasar (sosial budaya, ekonomi dan politik). Kita kehilangan jati diri bangsa, tinggal menanti kemelaratan karena "manusia kehilangan kesadaran dari dalam dirinya".
Pancasila: "asas dasar bagaimana melaksanakan pendidikan yang pancasilais terhadap kesejahteraan masyarakat termasuk mengupayakan pendidikan yang mencerdaskan bangsa yang sadar akan dirinya dan mendiri sebagai tolok ukur kemajuan masyarakat dan daerah yang didiaminya memperkuat sistem desentralisasi pendidikan, yang pada prakteknya masih jauh panggang dari api. Sentralisasi pendidikan masih dibawah kendali pusat, sentralisasi pendidikan hanya jadi jargon politik.