IACN Tantang Kejati Tetapkan Tersangka Dugaan Kasus Korupsi di DPRD Malut Periode 2019-2024

Editor: Kritikpost.id
Praktisi hukum IACN dan Peneliti IRDeM-Institut, Yohanes Masudede, S.H.,M.H (istimewa).

KRITIKPOST.ID, JAKARTA — Praktisi hukum menilai Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara belum cukup tegas dalam menangani dugaan kasus korupsi di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku Utara (Malut).

Hal tersebut disampaikan Yohanes Masudede, S.H.,M.H selaku praktisi hukum Indonesian Anti Corruption Network (IACN), pada hari Kamis (12/11/2025).

Menurutnya, Kejati seharunya tak menunda-nunda proses hukum apabila alat bukti dan unsur tindak pidana telah terpenuhi, sebab penundaan tanpa alasan yang jelas akan mengurangi kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.

“Kejati memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan tersangka apabila penyelidikan dan pemeriksaan telah menemukan bukti yang cukup, penegak hukum tidak boleh diintervensi oleh kepentingan apa pun,” ujarnya.

Berdasarkan informasi beredar, Ketua DPRD Malut 2019-2024 Kuntu Daud dan Ketua Komisi I DPRD Malut 2019-2024 Iqbal Ruray, sebelumnya telah dipanggil dan diperiksa oleh Kejati Malut pada Selasa, 28 Oktober 2025 lalu.

Keduanya diduga terlibat kasus korupsi tunjangan perumahaan dan transportasi anggota DPRD yang mencapai kerugian sebesar 29,832 miliar, selama periode 2019-2024.

Padahal, untuk fasilitas anggota Dewan seharusnya mengacu pada pasal 8 ayat 3 dan pasal 22 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) 18 tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD agar sesuai dengan kemampuan daerah.

Kemampuan daerah sebagaimana dimaksud tersebut diatur dalam Permendagri 62 Tahun 2017 tentang pengelompokan kemampuan keuangan daerah, serta pelaksanaan dan pertanggungjawaban dana operasional.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Yohanes menjelaskan bahwa menurut pasal 2, kemampuan daerah dibagi dalam tiga kelompok, yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

Sehingga jika melihat postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Maluku Utara dari tahun ke tahun, maka masuk dalam kategori kelompok sedang/rendah, karena dibawa 4 Triliun 500 miliar.

Ini berarti bahwa, "Alokasi anggaran di Sekretariat Dewan (Setwan) harus menyesuaikan dengan kemampuan daerah, bukan malah sebaliknya, Pimpinan dan Anggota DPRD mendapat tunjangan operasional yang tak wajar, apalagi saat daerah mengalami krisis ekonomi seperti Covid-19," tutur Yohanes.

Yohanes juga mendesak agar Kejati Malut memanggil Abubakar Abdullah selaku mantan Sekretaris Dewan (Sekwan), Rusmala Abdurahman selaku Bendahara Sekwan, dan Erva Pramukawati Konoras selaku Kepala Bagian (Kabag) Keuangan DPRD Malut yang berperan sebagai administrator dan pengelola keuangan di Setwan DPRD Malut.

Yohanes, yang juga seorang peneliti di IRDeM-Institute itu, menganggap hal tersebut penting dilakukan Kejati Malut sebagai lembaga penegak hukum, sebab dalam konteks pemberantasn korupsi, transparansi dan keberanian aparat penegak hukum merupakan hal yang mutlak.

“Publik menunggu langkah konkrit Kejati, jangan sampai muncul kesan bahwa proses hukum berjalan lambat karena ada tekanan dari pihak tertentu, saya berharap dalam kasus ini Gubernur Malut tidak ikut "cawe-cawe" dalam melindungi pihak-pihak terlibat korupsi tersebut,” tegas Peneliti IRDeM-Institut tersebut.

Lebih lanjut, IACN juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja Kejati Malut dalam penanganan perkara tersebut, serta evaluasi yang dinilai perlu dilakukan jika dalam waktu dekat belum ada perkembangan signifikan.

“Kejaksaan harus menunjukkan komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi, transparansi kepada publik penting agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum tetap terjaga,” tutup Yohanes yang juga Eks PP GMKI itu. (Red).
Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.