![]() |
| Foto: Sefnat Tagaku, S.Th (Sekretaris DPC GAMKI Halsel) |
Oleh : Sefnat Tagaku, S.Th
Sekretaris DPC GAMKI Halsel
"NATAL" merupakan kata yang diambil dari bahasa Latin (dies natalis), yang berarti; "hari kelahiran". Kata ini dilekatkan pada perayaan-perayaan yang memaknai kelahiran Yesus Kristus.
Meskipun masih terdapat banyak perdebatan dari para teolog Kristen terkait bulan kelahiran Yesus, namun hingga hari ini Desember menjadi central perayaan umat Kristen diberbagai denominasi gereja.
Paling terpenting, makna teologis tentang bagaimana proses inkarnasi Allah yang menjadi manusia melalui momentum kelahiran Yesus Kristus itu yang perlu diletakkan secara baik, sehingga dalam refleksinya umat Kristen menjumpai cara relevan, baik dalam merayakan "natal" maupun cara untuk memaknai hari kelahiran.
Karena itu, catatan ini akan berupaya menyuguhkan cara menyambut Yesus di kehidupan kekinian.
Natal dan Tradisi Perayaan
Cerita kitab Injil tentang kelahiran Yesus disampaikan dengan begitu halus, bahwa Dia lahir dikandang Domba. Cerita ini sekaligus menegaskan bahwa proses kelahiran Yesus berjalan dengan penuh kesederhanaan dan jauh dari kemewahan.
Tak hanya itu, bahkan kabar yang disampaikan oleh para Malaikat tentang berita kelahiran Sang Mesias adalah melalui orang-orang kecil, seperti; para gembala domba.
Meski demikian, perayaan Natal masih banyak diisi dengan kemewahan, pakaian baru, hiasan rumah baru, dan hal baru lainnya.
Model perayaan Natal seperti hal diatas rupanya diadopsi dari tradisi-tradisi bangsa Romawi, seperti; perayaan Pagan. Perayaan Pagan merupakan sebuah tradisi bangsa Romawi dalam merayakan pesta yang dilakukan pada pertengahan bulan Desember (Saturnalia).
Juga, pada pesta 25 Desember dalam perayaan penanda kembalinya matahari atau biasa disebut Sol Invictus.
Lalu dalam perkembangannya, perayaan Natal modern diisi dengan tradisi hiasan pohon natal, hiasan kandang yang disimbolkan tempat kelahiran Yesus dan Santa Claus.
Jika historis perayaan Natal seperti demikian, pertanyaannya : apa subtansi makna teologis dalam perayaan natal, dan bagaimana cara menerima Yesus di hari ini? Pertanyaan ini menggugah hati nurani kita untuk bicara seutuhnya, sehingga kita tidak terjebak kepada perayaan tradisi yang sangat meyakinkan paradigma kita seolah Natal hanya sekadar ritual tahunan.
Dalam titik ini, kita membutuhkan cara relevan yang tentu berkaitan dengan pertumbuhan iman secara kontekstual.
Makna Natal : Berjumpa dengan Yesus dalam Wujud Sesama Manusia
Dari uraian diatas, Gereja-gereja di Indonesia mestinya telah memiliki prinsip berbasis pertumbuhan iman kristen secara kongkrit yang tentu berkaitan dengan perayaan Natal. Mengapa? Natal sekali lagi bukan ritual tahunan yang cenderung berpusat pada "perayaan" (hiasan rumah ibadah dan rumah jemaat, joget-joget atau tarian, dan sejenisnya), melainkan perjalanan reflektif tentang bagaimana memaknai kehadiranNya di hari ini.
Untuk menjawab bagaimana kita memaknai natal yang sesungguhnya, saya lebih dulu menceritakan sebuah cerita kuno yang cukup lazim dikalangan umat.
Begini ceritanya; ada seorang ibu rumah tangga yang pada waktu malam bermimpi dia akan kedatangan seorang tamu istimewa, lalu ketika terbangun, ibu itu sibuk dengan menyiapkan segala sesuatu, dimulai dari membersihkan rumah dan menatanya, menyiapkan makan-minum dan kebutuhan lainnya.
Pada besoknya, tamu pertama yang datang kepada ibu itu adalah seorang pengemis tua yang meminta tumpangan rumah, tapi ditolak karena alasan ibu tersebut akan kedatangan tamu.
Lalu pengemis tua itu pun pergi. Berselang satu jam kemudian, ada orang buta yang mengetok pintu rumah ibu itu dan meminta sesuap nasi, tapi sekali lagi ibu itu menolak karena alasan yang sama bahwa kesediaan makanan untuk tamu istimewanya.
Tamu ketiga adalah orang yang penyakit kusta datang meminta tumpangan sekaligus makanan, tapi tetap ditolak dengan alasan yang sama.
Pada malam harinya, ibu itu kembali bermimpi dan berjumpa dengan tamu istimewa yang ada pada mimpi sebelumnya.
Lalu ibu itu bertanya, mengapa tuan tidak datang padahal saya sudah menyiapkan segala sesuatu? Tuan itu spontan menjawab, saya sudah datang sebanyak tiga kali, tapi ibu menolak aku.
Dari cerita ini, memposisikan Yesus sebagai tamu yang dimimpikan ibu rumah tangga itu, dan kedatanganNya dalam wujud manusia.
Cerita ini adalah bagian sederhana untuk memaknai kehadiran Yesus. Jangan sampai, perayaan yang tidak menyentuh makna Natal justru mendorong umat untuk menolak Yesus dalam realitas hidup sosial masyarakat.
Maka jika gereja terus membiarkan umatnya merayakan natal melalui tradisi yang tidak subtansi dengan hakikat natal, maka gereja sendiri yang melahirkan dampak negatif pada pertumbuhan iman umat dalam memahami dan memaknai natal.
Karena hari ini, umat tidak lagi menyambut Yesus dalam bentuk bayi yang terbaring, melainkan perjalanan reflektif tentang memaknai kehadiranNya.
Mengapa demikian? Makna natal sesungguhnya mengajak kita untuk menerima Yesus dalam wajah manusia dengan hidup saling mengasihi antar sesama, bukan mempertunjukkan persaingan hidup yang menjatuhkan umat dosa.
Selamat merayakan natal Kristus, semoga damai dan Kasih terus menjadi bagian prioritas yang diupayakan dan dilakukan oleh umat Kristen dalam perayaan ini. Tuhan memberkati !(RD/Red)
