Diduga Langgar Hukum Lingkungan dan HAM, Publik Minta Harita Group Setop Operasi Industri

Editor: Kritikpost.id
Foto : Koordinator Perkumpulan Aktivis Maluku Utara, Yohanes Masudede (istimewa).

KRITIKPOST.ID, JAKARTA — Operasi industri tambang raksasa, Harita Group, kini dinilai tak lagi sebatas persoalan lingkungan, melainkan serangkaian tindakan sistematis yang diduga melanggar hukum lingkungan, Hak Asasi Manusia (HAM), serta merusak demokrasi dan kedaulatan ekonomi lokal.

Berbagai desakan dan protes dari kalangan masyarakat pun terus dilontarkan. Baik lokal maupun global, semua menuntut agar Harita Group segera menyetop operasi industri pertambangan di Pulau Obi, Maluku Utara, Indonesia.

Menanggapi hal itu, Yohanes Masudede, selaku Koordinator Perkumpulan Aktivis Maluku Utara, menyampaikan bahwa apa yang terjadi di Pulau Obi, Maluku Utara, telah memenuhi unsur kehancuran ekologis yang disengaja.

Pihaknya menilai bahwa perubahan lanskap Pulau Obi, pencemaran air, serta konflik sosial yang meluas, tidak hanya dampak dari sistem pembangunan, melainkan konsekuensi langsung dari model bisnis ekstraktif yang mengabaikan hukum dan hak rakyat.

“Pulau Obi dulunya ruang hidup, sekarang menjadi zona korban. Air tercemar, tanah dirampas, dan masyarakat dipaksa menanggung biaya dari keuntungan yang mereka tidak pernah nikmati,” ujar Yohanes kepada awak media Kritikpost.id, Minggu (21/12/2025).

Selain itu, proses penguasaan lahan dan ekspansi tambang di Pulai Obi juga diduga mengabaikan hak warga dan prinsip persetujuan bebas, yang secara hukum internasional merupakan pelanggaran serius, dan tidak bisa lagi berlindung di balik narasi pembangunan dan hilirisasi.

“Jika sebuah korporasi secara sadar terus beroperasi meski mengetahui dampak destruktif terhadap lingkungan dan manusia, maka itu bukan kelalaian, melainkan pembiaran yang patut diduga sebagai kejahatan korporasi,” tegasnya.

Disisi lain, Direktur Indonesian Anti-Corruption Network (IACN), Igrissa Majid, kepada awak media Kritikpost.id menyampaikan bahwa Harita Group bagian dari problem struktural sektor Nikel di Indonesia, yang sarat dengan praktik perizinan bermasalah, konflik kepentingan, serta dugaan aliran dana non-transparan.

“Industri Nikel kita dibangun bukan di atas supremasi hukum, tetapi di atas kompromi, pembiaran, dan dugaan suap, bahkan sudah terbukti di pengadilan terkait kasus Mantan Gubernur Maluku Utara dan Harita Group adalah aktor dominan dalam sistem ini,” tutur Igrissa.

Dirinya juga menyinggung berbagai laporan investigatif lembaga antikorupsi yang mengungkap perihal izin pertambangan dan smelter yang terbit tanpa kepatuhan terhadap aturan lingkungan dan fiskal. Baginya, dampak dari praktik tersebut bukan hanya kerugian ekologis, tetapi juga kerugian negara dan rakyat.

“Ketika pajak diduga tidak optimal, izin bermasalah dibiarkan, dan dampak lingkungan tidak dipulihkan, maka ada potensi kerugian keuangan negara yang nyata. Ini wilayah hukum pidana, bukan lagi sekadar kritik kebijakan,” ucapnya.

Selain itu, Igrissa juga menyoroti peran lembaga keuangan Nasional dan Internasional yang terus mendanai ekspansi Harita Group. Baginya, Bank-bank tersebut harus ikut bertanggungjawab secara etik, bahkan hukum, apabila tetap membiayai proyek yang diduga melanggar hukum dan HAM.

“Pendanaan bukan tindakan netral. Jika Bank mengetahui, atau paling tidak harus mengetahui adanya pelanggaran, maka pembiayaan itu bisa dianggap sebagai kontribusi terhadap kejahatan,” tegas alumnus Anti-Corruption Academy itu.

Tak hanya itu, Igrissa juga menyoroti terkait tekanan publik yang belakangan muncul terhadap sektor keuangan secara global. Baginya, kampanye internasional #StopDirtyNickel yang viral akhir-akhir ini, secara terbuka ingin menargetkan Bank-bank besar seperti Hana Bank, Maybank, MUFG, hingga BNI.

Igrissa menilai bahwa aksi-aksi protes yang dilakukan secara kreatif itu digelar untuk menunjukkan bahwa dana yang diklaim mendukung transisi energi, justru menopang industri Nikel dengan jejak karbon tinggi dan dampak sosial-ekologis berat.

Sebagaimana dilansir dari laporan Market Forces dan The Prakarsa, terungkap adanya pembiayaan Harita Group mengalir melalui celah kebijakan perbankan ke proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara, industri yang menyuplai Smelter Nikel.

Disisi lain, masifnya operasi tambang Harita Group di Pulau Obi, juga kerap menjadi penyebab pencemaran air laut dan air tanah oleh logam berbahaya, termasuk Kromium Heksavalen yang bersifat karsinogenik.

Berdasarkan hasil investigasi media internasional The Guardian, dengan melibatkan aktivis lingkungan Erin Brockovich, mengungkapkan bahwa ada risiko kesehatan jangka panjang bagi masyarakat sekitar akibat pencemaran tersebut.

Di saat yang sama, wilayah perairan Halmahera yang dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia, kini terancam serius akibat sedimentasi dan polusi dari aktivitas tambang dan pengapalan Nikel.

Menanggapi hal itu, bagi Igrissa, “Setiap Nikel yang keluar dari Pulau Obi membawa jejak penderitaan manusia, dan kehancuran alam, jadi kalau ada yang membelinya, berarti ikut juga menopang sistem yang melanggar hukum dan HAM ini,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa ekspansi agresif industri Nikel Indonesia, dengan dukungan modal dan teknologi asing, telah menciptakan distorsi pasar global sekaligus ketergantungan baru yang berbahaya. Baginya, ini adalah ujian nyata bagi komitmen dunia terhadap transisi energi yang adil.

“Jika energi bersih dibangun di atas kotoran kejahatan lingkungan dan korupsi, maka itu bukan transisi, melainkan pengulangan skandal korporasi,” jelasnya.

Dengan demikian, Igrissa menegaskan agar perlunya penghentian pendanaan dan pembelian dari Harita Group, sebagai panggilan moral sekaligus langkah preventif untuk mencegah kejahatan yang lebih besar.

“Publik internasional sedang memberi atensi serius, siapa yang tetap mendanai dan membeli, harus siap dicatat sebagai bagian dari kejahatan yang mereka biayai sendiri,” tutup Igrissa. (Red).
Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.