![]() |
| Foto: Aktivitas Pertambangan Nickel Harita Group, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara |
KETIKA dua dokumenter yang dirilis Tempo dengan judul “Pulau Obi: Hilirisasi dan Lingkungan yang Lestari” dan juga “Ngomi o Obi” tayang, sederet pertanyaan muncul dalam benak penulis: Berapa cost yang dikeluarkan Harita untuk membuat media sekaliber Tempo bersedia menunjukkan sisi baik perusahaan penambangan yang punya riwayat perusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup bagi komunitas lokal di Pulau Obi ? Apakah tujuannya sekadar menegaskan dampak baik dari indutsri ekstraktif, atau karena Harita sedang menjalani audit The Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) yang dikenal sebagai standar paling komprehensif dan ketat dalam industri pertambangan global?
Dalam salah satu podcast bersama Walhi dan Fery Amsari, Agung Wijayanto, salah satu jurnalis senior Tempo mengatakan bahwa dokumenter tersebut merupakan produk iklan, bukan produk jurnalistik. Dari situ sebenarnya dapat terlihat kepentingan dan orientasi pembuatan dokumenter tersebut.
Apa yang ditampilkan dalam dokumenter tersebut, juga tidak serta-merta membuktikan bahwa kenyataan yang berlangsung sesuai dengan apa yang digambarkan.
Pada praktiknya, kerusakan lingkungan menjadi salah satu harga yang harus dibayar oleh komunitas lokal karena eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan perusahaan.
Smelter nikel milik Harita di Pulau Obi, Maluku Utara, menghasilkan emisi 7,98 MtCO2e gas rumah kaca pada 2023. Jumlah ini setara dengan 1% dari total emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2023, yang mencapai 733,2 MtCO2e2. Emisi gas rumah kaca dari smelter di Obi itu saja sudah sebanding dengan emisi yang dihasilkan oleh 1,8 juta kendaraan roda empat pada 2023. Bahkan, hampir setara dengan seluruh emisi kendaraan roda empat di Jawa Timur, yang jumlahnya mencapai 2.076.146 unit (Jatam:2023).
Hal ini terjadi karena nyaris seluruh smelter Harita yang beroperasi Obi, mengandalkan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik. Menurut perhitungan JATAM dengan mengandalkan analisis citra satelit, seluruh usaha pertambangan Harita yang dilakukan oleh anak-anak usahanya, menghasilkan deforestasi seluas 19.100 hektare atau setara dengan 13 persen penurunan tutupan pohon sejak tahun 2000.
Kehadiran pabrik-pabrik pengolahan nikel di Kawasi akhirnya merampas hak warga atas udara yang bersih dan sehat. Laporan JATAM 2023 juga mengungkapkan, terdapat lebih dari 900 kasus seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang berpotensi mematikan di antara sekitar 4.000 penduduk Kawasi pada tahun 2020. Lebih dari separuh kasus dilaporkan itu terjadi pada bayi baru lahir atau balita berusia empat tahun ke bawah.
Jejak kerusakan yang ditimbulkan Harita juga terlihat jelas lewat pencemaran laut sebagai ruang produksi ekonomi nelayan di Kawasi, Pulau Obi. Limbah dari eksplorasi perusahaan yang melimpas ke badan-badan sungai hingga menuju laut, tak hanya membawa sedimentasi atau endapan tanah, tetapi juga mengandung logam-logam berat yang mengontaminasi perairan.
Hal ini bisa dibaca lebih lengkap dalam penelitian Muhammad Aris dalam jurnal “Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histopathological of Marine Fish, in the Obi Island, Indonesia” (2020), demikian juga investigasi yang dilakukan oleh The Guardian.
Penderitaan masyarakat Kawasi tidak berakhir hanya pada hidup dalam lingkungan yang rusak. Lebih jauh, perusahaan punya riwayat dalam melakukan intimidasi bahkan kriminalisasi pada warga yang menolak aktivitas pertambangan. Dominggus Johanis, seorang warga Kawasi adalah salah satu korban kriminalisasi perusahaan.
Dominggus terpaksa mendekam di penjara pada 2019 selama enam bulan hanya karena tidak mau lahannya digusur. Sementara Andrias Datang, dipukul dengan popor senjata di rumah Sekertaris Desa, Frans Datang—yang tak lain saudara kandungnya sendiri, karena bersikukuh menolak proses ganti rugi yang tidak adil.
Relokasi warga Kawasi ke Eco Village juga merupakan bentuk pengusiran paksa yang dapat disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Relokasi ini bukan sekadar memindahkan rumah, melainkan juga mencabut komunitas warga dari kampung halaman mereka yang kaya akan nilai budaya dan historis. Tanah, kebun, dan laut yang menjadi ruang hidup mereka juga ikut terenggut dalam proses tersebut.
Selain itu, ketiadaan serikat buruh dalam mengawal hak-hak klas pekerja tambang juga menjadi persoalan mendasar yang belum dipenuhi perusahaan. Hal ini penting untuk menjamin bahwa seluruh tenaga kerja dapat menerima hak seadil-adilnya yang dijamin oleh undang-undang.
Kasus kecelakaan kerja yang baru-baru ini memakan korban jiwa salah satu karyawan PT Trimegah Bangun Persada (TBP), RHZ (29), juga harusnya mendapat perhatian serius perusahaan dan pemerintah agar memastikan bahwa kejadian ini tak berulang dan korban bisa mendapatkan keadilan. Pemerintah juga harus mengambil langkah tegas dan melakukan audit secara menyeluruh untuk memastikan perusahaan telah menjalankan standar-strandar yang sesuai dalam undang-undang dan aturan perburuhan, termasuk memastikan bahwa seluruh tenaga kerja asing yang bernaung di bawah Harita Nickel di Pulau Obi memiliki Kartu Ijin Tinggal Sementara (KITAS).
Sebab itu IRMA, harus objektif dalam melihat sepak terjang Harita beserta dampak-dampak yang ditimbulkan, selama menginjakkan kaki di Pulau Obi.
Hal ini juga harusnya menjadi atensi bersama masyarakat Halsel, terkhususnya masyarakat Obi untuk dapat mengajukan pelbagai tuntutan dan temuan-temuan di lapangan jika terdapat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan perusahaan ke laman resmi IRMA.
Dengan itu, kita bukan hanya menjaga keberlangsungan ekosistem bisnis yang baik, melainkan juga menjaga kelangsungan ekosistem dan hak-hak masyarakat lingkar tambang dapat dipenuhi oleh perusahaan yang telah mengeksploitasi sumber daya alam.(RD/Red)
