Oleh Melky Molle, S.Th.,M.Pd (Akademisi Universitas Halmahera)
Teologi tanah dalam perspektif Etika Kristen berangkat dari pemahaman bahwa tanah adalah ciptaan Tuhan yang indah dan penuh nilai, yang diperuntukkan sebagai tempat hidup manusia serta seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Dalam Kitab Kejadian, manusia diciptakan dari tanah dan diperintahkan untuk mengelola serta memelihara bumi. Dengan demikian, tanah bukan hanya sekedar aset ekonomi, melainkan merupakan bagian integral dari ciptaan yang harus diperlakukan dengan hormat dan tanggung jawab sebagai wakil Allah di bumi .Landasan teologis utama dalam teologi tanah adalah pengakuan bahwa tanah adalah milik Tuhan, bukan milik manusia semata.
Hak penguasaan atas tanah datang dengan tanggung jawab moral untuk menjaga dan merawatnya sesuai kehendak Tuhan. Sebagai wakil-Nya, manusia memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa penggunaan tanah tidak merusak harmoni ciptaan, melainkan mendukung kesejahteraan bersama serta generasi masa depan. Dalam etika Kristen, tanah juga memiliki dimensi relasional. Tanah mempersatukan manusia dengan Allah dan sesama serta dengan alam ciptaan. Tanah dianggap sebagai simbol persekutuan dan berkat Tuhan yang harus dihormati dan dijaga. Ketika tanah dirusak atau dieksploitasi secara berlebihan, hal itu mencerminkan pelanggaran terhadap hubungan yang sakral antara manusia dan ciptaan Tuhan, berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial dan ekologis.
Etika Kristen menuntut manusia untuk bersikap adil dan bertanggung jawab dalam pengelolaan tanah. Konsep sabat menurut Perjanjian Lama, misalnya, mengajarkan tentang pentingnya memberi waktu untuk tanah beristirahat agar tetap subur dan lestari. Praktik ini mengingatkan bahwa manusia tidak boleh semena-mena mengeksploitasi bumi, karena tanah adalah anugerah yang harus dijaga dalam kerangka perjanjian Tuhan dengan manusia. Teologi tanah juga menekankan solidaritas dengan alam dan sesama. Hal ini berarti bahwa pengelolaan tanah harus memperhatikan kesejahteraan bersama, terutama bagi mereka yang bergantung langsung pada tanah seperti petani dan masyarakat adat. Penjualan tanah yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan ekologis sering dianggap sebagai tindakan yang melukai sumber kehidupan bagi banyak orang, seolah melukai "ibu" yang memelihara kehidupan.
Dalam perspektif etika Kristen yang berpusat pada kasih, kewajiban menjaga tanah bukan hanya kewajiban legal, melainkan tanggung jawab moral yang penuh kasih terhadap ciptaan Tuhan. Manusia diajak untuk hidup dalam harmoni dengan alam, menghindari sikap eksploitatif dan mementingkan keuntungan sesaat. Sebaliknya, pola hidup yang berkelanjutan dan beretika menjadi panggilan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di bumi .Teologi tanah juga mengajarkan bahwa tanah bukan hanya sumber materi, tetapi sarana spiritual dan simbol harapan. Tanah Kanaan dalam Alkitab misalnya, dipandang sebagai lambang perjanjian keselamatan dan pemulihan hubungan antara Allah dan umat-Nya.
"Tanah, Sumber Nilai Hidup" karya Y. Wartaya Winangun, SJ, yang diterbitkan oleh Kanisius pada tahun 2004, mengangkat tema pentingnya tanah sebagai sumber kehidupan baik secara fisik, sosial, maupun budaya. Tanah tidak hanya dipahami sebagai milik material, tetapi juga sebagai unsur yang memiliki nilai filosofis dan moral yang mendalam bagi kehidupan manusia serta kelestarian lingkungan.
Dalam buku ini, Winangun menekankan hubungan manusia dengan tanah sebagai suatu keterikatan yang bersifat hakiki dan spiritual. Tanah dianggap sebagai warisan dan sumber daya vital yang harus dijaga dan diperlakukan dengan hormat. Oleh karena itu, bagaimana tanah dikelola dan dilindungi akan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan kehidupan itu sendiri. Lebih dari itu, Winangun juga mengulas berbagai aspek hukum dan sosial yang terkait dengan pengelolaan tanah, termasuk konflik dan sengketa yang kerap terjadi.
Nilai tanah sebagai fondasi kehidupan sekaligus panggilan untuk bertanggung jawab menjaga tanah agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang dengan cara yang adil dan berkelanjutan. Sejengkal tanah memiliki nilai hidup, sementara berhektar-hektar tanah di kota dijadikan lapangan golf.
Dengan demikian, etika penggunaan tanah harus mencerminkan rencana keselamatan Allah yang mengutamakan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian bagi semua ciptaan .Dalam konteks global saat ini, teologi tanah dalam etika Kristen mendesak umat manusia untuk mengubah paradigma dari eksploitasi menuju pelestarian.
Kerusakan lingkungan dan konflik sosial akibat pengelolaan tanah yang tidak adil merupakan tantangan serius yang harus dijawab dengan komitmen moral berdasarkan firman Tuhan. Kesadaran akan tanggung jawab ini harus menjadi dasar tindakan nyata dalam menjaga bumi agar tetap lestari bagi generasi kini dan yang akan datang.
Secara keseluruhan, teologi tanah dalam perspektif Etika Kristen mengajarkan bahwa manusia tidak menjadi pemilik mutlak tanah, melainkan wakil Allah yang dipercaya untuk memelihara dan mengelola tanah dengan penuh tanggung jawab, kasih, dan keadilan. Sikap etis terhadap tanah harus didasarkan pada kesadaran akan kedaulatan Tuhan atas ciptaan dan komitmen mendalam untuk melestarikan serta mewariskan bumi sebagai warisan hidup bagi umat manusia dan seluruh makhluk Tuhan yang ada diatas tanah.