![]() |
| Foto: Sefnat Tagaku, S.Th ( Sekretaris DPC GAMKI Halsel ) |
Oleh : Sefnat Tagaku, S.Th (Sekretaris DPC GAMKI Halsel)
Selayang Pandang: Kritik di Ruang Demokrasi
Hidup ditengah negara (seperti Indonesia) yang menganut sistem demokrasi, kritik mestinya dijadikan sebagai nutrisi yang dapat memberi dampak kehidupan positif. Dengan kritik, orang akan dengan sadar mengatur langkah dengan baik dan hati-hati agar tidak terperosok pada jalur yang salah.
Sebagai warga negara yang mengaku berdemokrasi, kritikan tidak bisa serta-merta diklaim sebagai upaya mengkambing hitamkan seseorang dari wujud urusan publik, melainkan dorongan kebaikan agar orang yang di kritik terus berada pada jalur yang tepat. Lebih-lebih berkaitan dengan kepemimpinan.
Sayangnya, meskipun ruang demokrasi yang semakin terbuka seiring dengan percepatan perubahan arus zaman, namun kerap kita jumpai para elite bangsa ini yang masih bersikap resisten terhadap sebuah kritikan. Kritikan dianggap sebagai ancaman sehingga menimbulkan kesenjangan sosial ditengah kehidupan masyarakat.
Dalam titik inilah, segala cara akan ikut dihalalkan oleh kekuasaan untuk menutupi berbagai ruang kritikan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk menyerang para pemberi kritik. Nah, jika posisi "kritikan" sudah berada pada ruang yang dianggap hampa seperti demikian, maka bertanda ada ancaman serius bagi kehidupan demokrasi.
Wajah Maluku Utara Hari Ini
Akhir-akhir ini, di provinsi Maluku Utara, beranda Facebook begitu masif menyuguhkan postingan-postingan yang tidak manusiawi dan cenderung memberi pesan bahwa kita sedang berada pada fase krisis kemanusiaan. Dimana seorang anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, Nazlatan Ukhra Kasuba, mendapat Bullyan dari beberapa akun palsu pasca dirinya memberi kritikan terhadap Gubernur.
Mengamati video viral yang memuat kritikan DPRD tersebut, ada dua hal subtansi yang disorot; pertama, soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang turun drastis dari Rp. 3,1 triliun menjadi Rp. 2,7 triliun akibat kebijakan efisiensi oleh pemerintah pusat. Dan kedua, terkait sering absennya Gubernur Maluku Utara pada rapat paripurna yang digelar oleh DPRD.
Saya melihat kritikan terkait APBD yang turun drastis ini sebagai pembuka paradigma yang sadar bahwa daerah ini menjadi penghasil emas dan nikel terbesar bagi Indonesia dan dunia, kenapa tidak ada pertimbangan rasional terhadap kebijakan efisiensi untuk Maluku Utara? Ini pula kan beriringan dengan seringnya Gubernur Maluku Utara yang terus melakukan perjalanan dinas keluar dengan dalil lobi-lobi.
Sementara terkait absennya Gubernur Maluku Utara pada agenda paripurna merupakan sebuah prinsip yang mempertanyakan rasa pertanggung jawaban seorang pemimpin terhadap daerah ini. Apalagi, paripurna merupakan forum yang menggumuli tentang masa depan daerah. Memang secara regulasi, bahwa kepala daerah itu prinsipnya paket yang artinya dapat diwakili. Namun absen yang berulang dapat menimbulkan nilai buruk dimata publik.
Lantas mengapa dua hal yang disampaikan itu bukan apresiasi yang dijumpai melainkan bullyan? Bukankah yang disampaikan adalah kepentingan rakyat? Mirisnya, respon yang diberikan dari kritikan itu justru didominasi dengan menyerang pada privasi pemberi kritik yang terkesan menghilangkan nilai kemanusiaan. Pada fase inilah, saya menyebut dengan tanda "matinya" sebuah makna demokrasi.
Memahami Fungsi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dalam Negara Demokrasi
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan negara harus dilaksanakan dan dibagi oleh tiga lembaga atau institusi, yakni: Legislatif Merupakan pemegang kekuasaan yang membuat undang-undang, Eksekutif memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, Yudikatif Adalah pemegang kekuasaan untuk mengadili pelaksanaan undang-undang.
John L Esposito, mengungkapkan bahwa dalam sistem demokrasi, semua orang berhak berpartisipasi baik aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Selain itu, dalam lembaga resmi pemerintah, ada pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Hal ini dipertegas bahwa dari tiga lembaga tersebut harus berjalan secara independen tanpa intervensi.
Pernyataan Jhon L Esposito ini sekaligus membuka pemikiran kita yang sadar, bahwa kritikan yang dilontarkan seorang DPRD (legislatif) terhadap kekuasaan (Eksekutif : Presiden, Gubernur, Bupati) adalah bagian dari menghidupkan demokrasi. Artinya, jika terdapat pembullyan terhadap si pemberi kritik dalam kehidupan negara atau daerah yang menganut sistem demokrasi, maka itu adalah upaya pembungkaman terhadap demokrasi itu sendiri.
Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan dengan kongkrit bahwa tontonan dinamika di Maluku Utara akhir-akhir ini berada pada situasi yang kontradiktif antara upaya menghidupkan demokrasi dan membunuh demokrasi melalui pembungkaman suara-suara kritis legislatif terhadap eksekutif. Jika sudah seperti ini, maka Maluku Utara sedang berada pada kondisi yang tidak sehat.
