Maluku Utara dalam Cengkeraman Oligarki Tambang: Politik yang Lumpuh, Ekologi yang Runtuh.

Editor: KRITIKPOST.ID

Foto: Riswan Wadi (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNAS Jakarta)

               
                 Oleh : Riswan Wadi
   (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional (UNAS) Jakarta) 


Maluku Utara : Dari Tanah Rempah ke Lahan Tambang

Maluku Utara pernah menjadi episentrum kejayaan rempah-rempah dunia. Namun, sejarah emas itu kini terkubur oleh kerak industri tambang yang rakus. 

Ternate, Tidore, dan Halmahera tak lagi identik dengan pusaka maritim atau kearifan lokal, melainkan dengan ekspansi tambang nikel dan kerusakan lingkungan.

Model pembangunan ekstraktif yang diagungkan saat ini adalah bentuk baru kolonialisme: eksploitasi besar-besaran oleh oligarki lokal dan investor luar, dengan restu negara. 

Alih-alih menghadirkan kesejahteraan, pembangunan ini justru memperluas ketimpangan dan menciptakan konflik ekologis yang sistemik.


Politik Lokal yang Dikooptasi Oligarki

Secara formal, demokrasi elektoral masih berjalan. Namun, sistem politik Maluku Utara telah mengalami deformasi serius. 

Pemilu menjadi ajang pertarungan modal, bukan gagasan. 

Elite politik berselingkuh dengan pengusaha tambang untuk saling mengamankan kepentingan.

Konsekuensinya, birokrasi menjadi alat transaksi, bukan institusi pelayanan.

Jaringan patron-klien menjadi poros utama distribusi kekuasaan.

Kelompok rentan seperti masyarakat adat, nelayan tradisional, dan aktivis lingkungan tersingkir dari arena pengambilan keputusan.

Kritik mereka dianggap gangguan, bukan koreksi kebijakan.

Ekologi dalam Status Darurat

Tambang nikel yang menjamur di Halmahera Tengah, Timur, hingga Selatan mempercepat laju kerusakan ekologis: deforestasi, pencemaran air, rusaknya biota laut, dan krisis kesehatan warga.

Maluku Utara kini berada dalam status darurat ekologis, namun pemerintah daerah memilih bungkam.

Regulasi lingkungan diabaikan, AMDAL dimanipulasi, dan pengawasan nyaris nihil.

Pemerintah seolah menjadi humas perusahaan tambang, bukan pelindung kepentingan rakyat

Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tapi cermin dari matinya etika politik dan keberpihakan negara.

Mandeknya Partisipasi, Runtuhnya Legitimasi

Mekanisme partisipatif seperti Musrenbang hanya menjadi panggung seremonial. 

Rakyat didengar tapi tidak didengarkan. Gerakan protes, petisi, hingga blokade tambang kerap dijawab dengan kriminalisasi dan intimidasi.

Ketika sistem politik gagal menyerap aspirasi dan menyalurkannya menjadi kebijakan yang adil, maka yang lahir bukanlah demokrasi, tapi delegitimasi. Rakyat semakin apatis, sementara elite semakin rakus.

Jalan Reformasi Struktural

Menggunakan kerangka sistem politik David Easton, jelas bahwa Maluku Utara sedang mengalami disfungsi sistemik: input dimonopoli oligarki, proses konversi kebijakan tidak demokratis, dan feedback rakyat diabaikan. 

Untuk menghindari keruntuhan politik yang lebih dalam, reformasi struktural menjadi keniscayaan:

Bangun partisipasi politik yang sejati, berbasis komunitas dan kontrol rakyat terhadap proses pengambilan keputusan.

Reformasi lembaga legislatif daerah agar tidak menjadi perpanjangan tangan penguasa eksekutif.

Tegakkan aturan lingkungan secara tegas, dengan melibatkan masyarakat sipil sebagai pengawas independen.

Hentikan kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan jamin kebebasan media lokal untuk mengungkap praktik korup kekuasaan.

Saatnya Memutus Lingkaran Setan

Jika oligarki tambang terus diberi ruang tanpa batas, Maluku Utara hanya akan menjadi tanah tambang yang kosong makna terjajah oleh elite lokal yang melupakan rakyatnya. 

Sejarah tidak akan mencatat mereka sebagai pembangun peradaban, tapi sebagai pelaku penghancuran.

Kini saatnya rakyat Maluku Utara bersatu: merebut kembali ruang politik, menjaga tanah leluhur, dan menagih janji keadilan dari negara.

(RD/Red)

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.