Pengantar Catatan : Jabatan Hanya Bersifat Sementara, Apa yang Mau di Pertahankan?
"Tidak ada satupun jabatan yang patut dipertahankan dengan mengorbankan masyarakat/orang banyak". Kalimat ini diungkapkan Wahid Abdurahman, saat dirinya dikudeta dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia ke-IV . Kalimat yang dilayangkan Gusdur karena melihat para Santri yang jauh-jauh datang dari daerah mereka masing-masing untuk datang ke ibu Kota hendak berencana membelanya.
Karena tidak ingin mengorbankan masyarakatnya, Gusdur memilih untuk mengangkat kaki dan tidak mau berbelah diri dari kezaliman yang dilimpahkan pada dirinya. Padahal ia berencana untuk mempertahankan jabatan yang dimilikinya, sebagai bentuk menunjukan kebenaran dan keadilan.
Lebih mengharukan lagi, Gusdur (sapaan Presiden RI ke-IV) hanya mengenakan pakaian sederhana saat keluar dari istana merdeka yang menunjukan dirinya kembali kepada rakyat. Sambil mengangkat kedua tangannya dan melambaikan kepada seluruh pendukung yang saat itu berada di depan istana merdeka, ia keluar dan meninggalkan semua kejayaannya.
Begitu sekilas cerita dan ungkapan dari sosok Gusdur, untuk mengawali catatan ini sebagai refleksi saya dalam merayakan Dies Natalis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) ke-73 Tahun. Mengapa demikian? Bagi saya, kisah haru dari seorang Gusdur perlu dijadikan sebagai pelajaran berharga oleh GMKI, dimana akhir-akhir ini dinamika internal terus bergulir dan tak kunjung selesai.
Dinamika ini, jika tidak secepatnya diselesaikan maka akan berunjung pada perpecahan (dualisme kepemimpinan). Jika demikian terjadi, apa yang diharapkan dari wadah yang mengimani Yesus Kristus sebagai Kepalanya? Atau apa arti dari sebuah Amsal yang selalu dikumandangkan dalam bait nyanyian MARS? Hampah? Entahlah!
GMKI 73 Tahun Lalu
Dimulai dengan Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV), Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI), hingga melebur diri menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang dicetuskan pada 9 Februari 1950 di Kaliurang, Yogyakarta, GMKI terus melakukan penelaahan-penelaahan Alkitab sebagai wujud meneguhkan kekristenan bagi setiap kader yang bergabung didalamnya. Tentu juga dengan semangat pergerakan sebagai mahasiswa Kristen di Indonesia.
Selain itu, GMKI yang bergerak dalam semangat kemerdekaan Indonesia, terus mengibarkan api-api perjuangan dengan memihakkan diri kepada masyarakat yang tertindas dan lemah. Tentu ini menjadi ciri khas dan karakter GMKI sejak berdirinya ia ditengah-tengah tantangan penindasan penjajahan hingga masa Orde Baru (Orba). Meski dengan tantangan yang besar itu, namun semangat menelaah Alkitab sebagai dasar pergerakan GMKI tidak memudar dan redup.
Tidak ada perdebatan tentang jabatan yang tertulis dalam sejarah perjalanan GMKI, hanyalah semangat Ut Omnes Unum Sint (agar semua menjadi satu) yang terus dikumandangkan oleh para pendahulunya untuk tetap menumbuhkan dan mempertahankan wadah ini dari berbagai tantangan zaman. Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, disana ladang yang disiapkan GMKI untuk para setiap kadernya dalam mengabdikan diri di wadah ini.
Karena itu, rupanya tak pantas jika setiap kader yang bergabung dalam rumah ini memilih untuk berdiam diri dalam zona nyaman. Apalagi memperebutkan jabatan didalamnya, seolah itu akan menjadi wilayah kekuasaan. Karena sesungguhnya, dasar dari gerakan ini telah diletakan sebelumnya, bahwa mendapatkan kepercayaan dalam memimpin wadah ini adalah bentuk dari ruang pelayanan yang sudah disiapkan, yakni; kepada Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat.
Olehnya itu, siapapun yang dipercayakan dalam wadah ini dan apapun jabatannya, baik Ketua Umum (Ketum), Kordinator Wilayah (Korwil), Ketua Cabang (Kecab) bahkan hingga yang paling Kecil sekalipun, dia tidak lebih dari seorang pelayan. Begitu kira-kira yang dimaksudkan oleh pendiri wadah ini, dr. Johanes Leimena (Om Jo) dalam ungkapannya, bahwa "esensi dari berpolitik adalah bukan semata-mata untuk berkuasa, melainkan untuk melayani".
GMKI di Hari ini, Akankah Kesuraman Sudah Dekat?
Ibarat sebuah perahu, sudah 73 Tahun GMKI berlayar. Panas, hujan dan badai telah dilalui oleh GMKI hingga di hari ini. Berbagai jenis ombak dan gelombang telah menghantam perahu yang ditumpangi ribuan orang. Akankah perahu itu (GMKI) dapat sampai ke pelabuhan sentosa, ataukah justru akan terpecah-belah dan tenggelam bersama penumpangnya kedalam dasar laut?
Hari ini, kita sama-sama membuktikan ada tantangan baru bagi GMKI yang datang dari dirinya sendiri, menjelang usianya ke-73 Tahun. Hal ini bisa dilihat dari gerbong atau kelompok-kelompok yang terbentuk pasca Kongres ke XXXVIII di Tanah Toraja. Panasnya dinamika yang dilalui GMKI dalam mengibadahkan pemikiran selama di Tanah Toraja, rupanya membuahkan hasil buruk bagi wadah ini.
Bagaimana tidak, setelah berhasil menyelesaikan Kongres di Tanah Toraja, suhu politik dari kota dingin itu terus terbawah hingga pada kerja-kerja tim Formatur yang bertugas untuk menyusun struktur Pengurus Pusat (PP) pada periode 2022-2024. Kerja-kerja yang dilakukan tim Formatur nampaknya tidak lagi sehat.
Hal ini karena terjadinya pecah kongsi di internal tim Formatur. Perdebatan dalam kerja tim Formatur justru mengarah pada soal siapa dukung siapa (jabatan). Alhasil, terbentuklah kelompok masing-masing yang di istilahkan hari ini, yakni; kubuh 'Ketum' dan 'Sekum'. Seolah-olah, wadah ini menjadi milik pribadi. Begini jadinya, jika sebuah jabatan dimaknai sebagai suatu kapasitas kekuasaan.
Mirisnya lagi, seruan 'Ut Omnes Unum Sint' yang merupakan Amsal GMKI tidak lagi dipakai sebagai semangat dari menyelesaikan problem internal yang dialami hari ini. Justru, sikap egois mendominasi dalam menyikapi persoalan yang tengah dihadapi GMKI. Saling melempar bola tanpa rasa berdosa, selayaknya dua orang manusia yang lagi bermain balas pantun.
Sikap kekanak-kanakan muncul di usia yang tua, sehingga melahirkan dua kali pelaksanaan Serah Terima Jabatan (Sertijab) dari pengurus Demisioner kepada pengurus baru, yang kita kenal hari ini dengan istilah '28' dan '31'. Peristiwa ini rasanya pahit. Namun sesungguhnya ini telah menjadi kenyataan yang harus diterima oleh seluruh kader's GMKI.
Meski demikian, 'harapan' masih tetap ada untuk gerakan ini kembali pulih, sebagaimana makna warna 'biru' yang terpampang pada Baret dan Gordon GMKI. Semoga diusia yang ke-73 Tahun ini, GMKI kembali berbenah dan pulang kepada relnya untuk menunaikan tugas panggilannya dalam melayani Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, dan terus melahirkan kader-kadernya yang tinggi iman, tinggi ilmu serta tinggi pengabdian.
Mengakhiri catatan ini, saya mengutip kitab 1 Korintus 10:23-24, yang berbunyi; ”Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ”Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain.
Akhirnya dari pinggiran bumi Indonesia, tepatnya di negeri bumi Hibualamo, saya mengucapkan selamat merayakan Dies Natalis GMKI ke-73 Tahun. Semoga diusia ini menjadi tahun berkat bagi GMKI, bukan tahun malapetaka. Ut Omnes Unum Sint,,,Syalom...!!! ("").