BARANGKALI hal yang perlu untuk diperbincangkan di saat menyambut natal, salah satunya adalah tebaran baliho politik di berbagai tempat. Ada yang dipasang di gereja-gereja, di samping jalan dan masih banyak lagi terdapat di tempat lainnya.
Mungkin peralatan politik ini hadir di ruang dan waktu yang bisa saja dikatakan salah alamat : natal, dan bukan di saat momen politik seperti biasanya. Akan tetapi sudah seharusnya begitu, karena politik memang tidak boleh absen dalam berbagai momen.
Bukankah seharusnya politik tidak boleh alergi dengan sesuatu dan juga dalam berbagai keadaan.? Bukankah cakupan politik tak boleh dicukup-cukupkan.? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dianggap sebagai dalil yang tepat untuk menguatkan kehadiran baliho politik setia setiap saat, dan hadir dalam berbagai momen.
Simak saja di kabupaten ataupun kota beberapa pekan lalu, wajah-wajah politisi sudah mulai ditancap di sepanjang jalan dengan ukuran yang beragam dan raut muka yang cukup meyakinkan. Mulai dari ukuran mini hingga jumbo, apalagi ditambah dengan desain senyuman yang manis menawan dan juga busana yang dikenakan. Maka sangat dengan mudah untuk menemukannya.
Wajah dan busana yang bersih tak bernoda itu cukup menggoda kepercayaan kita kepada para politisi itu. Apalagi busana yang dikenakan sangat menggembirakan hati: busana yang agamais misalnya, ditambah senyum yang manis untuk mewakili kegembiraan saat menyambut natal. Namun sangat disayangkan, karena tatapannya hanyalah tatapan kosong seperti foto ijazah. Dan untaian kalimat yang menyertainya, ringkas tetapi memiliki arti yang dalam “Selamat Hari Natal”.
Kalimat “Selamat Hari Natal” itu sudah lazim di negeri ini. Semua bisa mengucapkannya karena taka da larangan di dalamnya. Entah itu rakyat jelata, entah itu kaum yang kaya, semua bisa mengucapkannya. Bahkan saat mengucapkannyapun tak dipungut pajak. Entah itu professor ataupun masyarkat yang tak bersekolah. Tidak ada sanksi ketika mengucapkan kalimat tersebut. Kata itu bebas diucapkan semua kelas masyarakat.
Tetapi ada kecemasan bila kalimat tersebut terlontar dari bibir manis para pelaku politik. Kekhawatiran itu muncul apabila pelaku politik keliru memaknai penggunaan kalimat tersebut. Yang dikhawatirkan apabila pelaku politik memahami bahwa mengucapkan kalimat tersebut berarti telah lepasnya dosa dan diraihnya pengampunan dari yang maha kuasa. Sebab dosa politik efeknya massal.
Rasa khawatir ini menunjukan bahwa baliho politik itu bukanlah kenyataan. Kenyamanan mungkin terlihat di situ. Namun, bukan berarti kenyamanaan itu mutlak sebagai kenyataan. Kewaspadaan mesti ditanam dan mata tak boleh tertipu.
Baliho adalah narasi yang telah diresume. Resume itu sekaligus menyortir banyak hal. Di baliho segala keburukan tampil dalam bentuk kebaikan. Ini menunjukan bahwa baliho tak beres dalam hal moralitas. Baliho tak jujur sebagaimana angin yang menerpanya walau tak terhempas.
Baliho tak pernah jujur bahwa sesungguhnya la berhasrat dikenal, lalu diakui untuk dipilih. Dengan kehadiran yang bertubi-tubi kita seolah dipaksa untuk mengakuinya. Barangkali baliho lupa bahwa pengakuan yang dipaksa hanya memperdengarkan riuh tepuk tangan artifisial alias pura-pura.
Lihatlah, orang-orang tak pernah menanggapi serius baliho-baliho itu. Pejalan kaki tak pernah terlihat mampir memelototi secara seksama baliho yang ditancap. Pengendara roda dua tak pernah mengerem motornya hanya untuk singgah mencermati pesan-pesan baliho. Sementara pengendara mobil tak sekalipun menghentikan mobilnya di depan baliho untuk mempelajari apa makna baliho-baliho itu.
Bahkan, tak jarang ada warga sembunyi-sembunyi menurunkan baliho itu lalu dipakai sebagai penambal atap rumah yang bocor, atau dipakai sebagat terpal mengeringkan pala dan cengekeh di kampung. Di situlah daya guna baliho. Mereka faham jikalau baliho-baliho itu tak mau peduli dengan kemiskinannya.
Tetapi, survey politik selalu mengaitkan elektabilitas dengan jumlah baliho, Ini bukanlah keanehan. Di sini survey politik lupa bila respon publik pada baliho bukanlah tanggapan bermutu. Tetapi ia tak lebih sebagai gemuruh tepuk tangan pura-pura, seadanya belaka.
Di sisi lain, baliho membawa tanda ambisi. Di setiap tempat baliho tertancap, di situ tertera ambisi hak raja yang hendak menguasai sebuah wilayah. Ada pemain baru, ada pemain lama. Semuanya mencemaskan kita; suatu saat mereka menguasai wilayah ini dan itu. Baliho tak pernah menjadi tanda sebuah program kerja politik yang ril: Di situ, tak ada ideologi politik yang mencolok.
Pada akhirnya, demokrasi baliho merajai gelanggang politik kita. Demokrasi kita selalu diolah menjadi paradoks akut. la tak pernah membawa keseriusan yang jujur untuk kesejahteraan masyarakat. la senantiasa menawarkan hal yang semu. Lantas teringat kata orang dengan pertanyaan pelik; mana lebih konkrit khasiatnya, iklan panu dan kudis dibanding baliho yang serba mulus itu? ("").