Dulu, sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke Halmahera, di Galela orang sudah biasa memelihara jasad orang mati, yang disebut dengan salabe dan wonge. Salabe ialah tradisi memelihara jasad orang mati yang dilakukan oleh setiap keluarga, sedangkan wonge adalah tradisi memelihara jasad orang mati yang dilakukan oleh sebuah komunitas masyarakat. Salabe dibangun di setiap rumah dan diletakkan di loteng, sedangkan wonge dibangun di sebuah lokasi tertentu yang disepakati secara bersama-sama oleh masyarakat.
Umumnya tempat meletakkan jasad orang mati dalam tradisi itu adalah para-para yang disebut lang (Galela). Sedangkan jasad orang mati yang berhak diletakan di salabe dan wonge adalah jasad dari orang-orang yang berjasa, baik dalam keluarga maupun dalam sebuah komunitas; misalnya, orang yang pertama kali datang di suatu desa, pemimpin perang, ketua adat, kepala desa, pemimpin agama, pahlawanpahlawan yang mati dalam perang, dan sejumlah orang yang dianggap mempunyai kesaktian.
Tampaknya tradisi itulah yang telah melatari masyarakat di Halmahera dalam membangun pusara korban secara permanen di halaman rumah ibadah. Pada sisi yang lain, penulis juga melihat bahwa ternyata tradisi salabe dan wonge tersebut juga secara tidak langsung telah memperkuat penggunaan kata "martir" dan "syuhada” yang dialamatkan kepada para korban. Hal ini disebabkan oleh dua alasan.
Pertama, tradisi salabe dan wonge adalah tradisi yang berhubungan dengan peri laku masyarakat dalam rangka menghargai orang-orang yang dianggap berjasa dalam suatu komunitas. Kedua, dalam tradisi salabe dan wonge juga terkandung konsep-konsep yang berkaitan erat dengan hal-hal religius, seperti: pengabdian dan pengorbanan yang sangat dihargai dalam suatu komunitas religius. Dalam hal ini masyarakat dan keluarga korban mau tidak mau didorong untuk belajar dari pengalaman masa silam “para leluhur” mereka tentang berbagai pengorbanan ketika "bersaksi” tentang sebuah kebenaran sampai titik darah yang terakhir. Malahan dapat dikatakan bahwa dengan adanya tradisi salabe dan wonge, maka makna “martir” dan “syuhada” yang dialamatkan kepada para korban justru semakin menjadi kuat dan beralasan religius.
Dalam hal ini, benarlah apa yang dikemukakan oleh Bernard Adeney Rissakota dalam teori “Tiga Jaringan Makna”: bahwa realita masyarakat Indonesia pada dasarnya dibentuk oleh perpaduan tiga jaringan makna yang berbeda tetapi sulit dipisahkan dan dipertentangkan. Tiga jaringan makna itu adalah jaringan makna budaya nenek moyang, jaringan makna agama, dan jaringan makna modernitas. Jaringan makna yang satu tidak dapat menghilangkan jaringan makna yang lain, melainkan secara dinamis dan terus-menerus masing-masing jaringan akan memperoleh maknanya berdasarkan perpaduan dengan jaringan yang lain. Oleh karena itu, "tipologi tiga jaringan makna" ini harus dipahami sebagai suatu struktur hidup dan pola berpikir masyarakat dalam membangun hubungan-hubungan sosialnya.
Berdasarkan pemikiran seperti itu, dapat dikatakan bahwa realita pusara korban bisa eksis karena dilatari oleh sejumlah tradisi yang hidup dalam masyarakat, baik yang berasal dari budaya nenek moyang, agama, maupun modernitas. Dari sudut budaya nenek moyang realita pusara korban merupakan representasi dari tradisi salabe dan wonge, yang memperlihatkan kecenderungan memelihara jasad orang-orang yang dianggap berjasa dalam masyarakat, serta terkait juga dengan kepercayaan terhadap “roh-roh” orang mati. Tradisi tersebut kemudian berpadu makna dengan tradisi agama Kristen dan Islam yang berkaitan dengan konsep "martir" dan "syuhada" sehingga melahirkan konsep tentang para korban sebagai orang yang telah berjuang demi mempertahankan kebenaran agamanya, serta bertebarannya simbol-simbol agama di pusara korban.
Harus diakui bahwa setelah terjadi perpaduan makna dengan jaringan makna agama dan modernitas, ada sejumlah unsur dalam tradisi salabe dan wonge yang mengalami perubahan; misalnya tempat meletakkan jasad orang-orang yang dianggap berjasa tidak lagi dibuat dalam bentuk para-para (lang), tetapi dibuat dalam bentuk sebuah bangunan yang permanen, yaitu bangunan pusara.
Sebaliknya, oleh karena adanya pengaruh jaringan makna agama dan modernitas, tradisi salabe tidak dapat dibangun lagi secara fisik, karena dianggap dapat bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka perwujudannya terungkap dalam satu wadah, yaitu dalam bentuk wonge secara baru yakni pusara korban yang dilengkapi dengan sejumlah simbol agama. Begitu pula oleh karena adanya pengaruh jaringan makna agama, maka segenap ritual yang berlaku dalam tradisi salabe dan wonge tidak lagi dilakukan seperti aslinya, tetapi dilakukan dalam bentuk ziarah dan doa pergumulan serta beberapa aktivitas oleh pribadi dan keluarga korban pada hari-hari tertentu, serta adanya penempatan sejumlah simbol agama di pusara korban (Sefnat Hontong (204-207;2012) | Menyoal Fakta Pusara Korban, Membangun Budaya Damai Di Halmahera).
Kita tidak bisa menolak, bahwa ritualitas jaringan kebudayaan manusia Halmahera merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari orang Halmahera pada khususnya. Kebudayaan semacam ini bukan barang asing, bukan pula barang impor, dia ada dalam sejarah kehidupan orang Halmahera, orang- orang yang berpegang pada kebudayaan pusara. Karena itu dibeberapa kesempatan orang seringkali mengungkapkan keagungan pusara dari orang -orang yang dianggap memiliki pengaruh terhadap komunitasnya, atau keluarganya.
Seperti yang dijelaskan oleh James Hair dalam bukunya " Injil di Halmahera", bahwa struktur kepercayaan orang Halmahera perlu dipelajari sebagai bagian dari usaha berteologi di halamahera, dimana upaya pemaknaan dari struktur itu dijelaskan dengan amat sederhana. Giri Moi, Gomanga Ma oa, dan Gomanga madorou.-- Gikiri Moi adalah cahaya suci yang tidak bisa dilihat secara kasat mata oleh manusia biasa. Karena itu orang Halmahera biasanya meyakinkan orang ketika bercerita, atau menginformasikan sesuatu, Dia lalu menunjuk lampu sebagai simbol sumpah, sebagai simbol terang suci.
Sementara Gomanga ma oa adalah roh leluhur yang karena jasa-jasanya, karena keberanian melindungi keluarga atau komunitasnya dari ancaman, dia lalu dianggap memiliki keteladanan, memiliki kahrisma dll. Orang seperti ini jika meninggal nanti akan menjadi roh yang baik, roh pelindung (Gomanga Ma Oa). Sedangkan Gomanga ma dorou, adalah roh leluhur yang tugasnya mengganggu manusia biasa, supaya mereka bisa hidup susah, tidak sehat dll. Gomanga ma dorou adalah roh leluhur yang semasa hidupnya di dunia , dia tidak memberi keteladanan, sering membuat kekacauan, mabuk-mabukan dll. Leluhur yang hidup tanpa memberi keteladanan pada generasinya, akan menjadi Gomanga Ma dorou.
Karena itu sebagai bagian dari budaya kehalmaheraan, budaya pusara harus diupayakan sebagai bagian dari dari teologi kontekstual Halmahera. Menghargai pusara (leluhur teladan) akan mendatangkan kebaikan dan perlindungan antara yang suci (Gikiri Moi) dan leluhur pelindung (Gomanga Ma Oa). Kita juga akan saksikan bersama bagaimana pusara itu akan diterangi dengan lilin-lilin kecil untuk memberi informasi, bahwa pusara harus dihormati dan dihargai sebagai sebuah pegangan hidup orang halmahera sebagai ruang pemaknaan untuk kehidupan dan masa depan.