Bupati Halmahera Selatan dan Lonceng Darurat Negara Hukum

Editor: BIRO HALSEL

Foto:Wilson Colling, S.H., M.H. (Praktisi hukum dan penulis aktif di platform media sosial)

Oleh :

Wilson Colling, S.H.,M.H

(Praktisi hukum dan penulis aktif di platform media sosial)

SEBUAH drama hukum tengah berlangsung di Halmahera Selatan, Bupati Hasan Ali Bassam Kasuba melantik empat kepala desa baru dengan mengabaikan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). 


Tindakan ini bukan sekadar sengketa administratif, melainkan lonceng darurat yang mengguncang fondasi negara hukum di Indonesia.


Kasus bermula dari sengketa pemilihan kepala desa yang diselesaikan melalui jalur hukum. PTUN, setelah melalui proses panjang, mengabulkan gugatan pihak yang dirugikan dan putusannya sudah final. 


Namun, bukannya patuh, sang Bupati justru mengambil langkah berlawanan: melantik pihak lain sebagai kepala desa. Arogansi eksekutif daerah itu menempatkan putusan pengadilan seolah hanya kertas kosong tanpa arti.


Dalih “diskresi” kerap dipakai untuk membenarkan keputusan politik. Pemerintah daerah mungkin berargumen bahwa pelantikan dilakukan demi mencegah kekosongan jabatan. 


Namun secara hukum, diskresi bukanlah kartu bebas. Ia terikat pada prinsip Asas Kepastian Hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).


Begitu ada putusan pengadilan yang inkracht, ruang diskresi otomatis tertutup. Melawan putusan pengadilan dengan alasan diskresi adalah penyalahgunaan wewenang (détournement de pouvoir). 


Surat keputusan pelantikan empat kepala desa itu pada dasarnya lahir dari proses cacat hukum, sehingga berpotensi batal demi hukum.


Yang dipertaruhkan di Halmahera Selatan bukan sekadar jabatan empat kepala desa, melainkan martabat konstitusi. 


Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Negara hukum berarti pejabat publik pun tunduk pada hukum, bukan berdiri di atasnya.


Jika seorang bupati dapat dengan mudah mengangkangi putusan pengadilan, maka pesan yang lahir di masyarakat sangat berbahaya: hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil, sementara kekuasaan bisa kebal.


Ini menciptakan ketidakpastian hukum kronis, merusak legitimasi lembaga peradilan, dan membuka ruang bagi pejabat lain untuk mengulangi pola serupa.


Hukum sebenarnya tidak berhenti di situ. Pihak yang menang di PTUN dapat mengajukan permohonan eksekusi putusan kepada Ketua PTUN. 


Jika Bupati tetap menolak, UU Peratun memberi ruang pemaksaan melalui sanksi administratif, intervensi Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, hingga publikasi resmi di media massa.


Lebih jauh, jalur hukum pidana pun bisa ditempuh. Mengabaikan putusan pengadilan dapat dikualifikasikan sebagai dugaan penyalahgunaan wewenang, sebuah tindak pidana yang tidak bisa disepelekan.


Kasus Halmahera Selatan adalah ujian keras bagi komitmen Indonesia terhadap prinsip the rule of law. Publik, DPRD, media, hingga pemerintah pusat harus turun tangan. 


Tanpa pengawasan dan tindakan tegas, lonceng darurat ini bisa berubah menjadi lonceng kematian bagi supremasi hukum.


Hukum tidak boleh berhenti sebagai teks. Ia harus ditegakkan, sekalipun berhadapan dengan pejabat yang merasa dirinya lebih tinggi dari putusan pengadilan.



Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.