SETARA Institute dan IRMA Dinilai Dukung Praktik Greenwashing di Pulau Obi Melalui Harita Nickel

Editor: Kritikpost.id
Foto: Koordinator Perkumpulan Aktivis Maluku Utara di Jakarta, Yohanes Masudede.

KRITIKPOST.ID, JAKARTA — Perusahan tambang nikel raksasa yang berhasil menggunduli hutan Pulau Obi, Maluku Utara (Malut), Harita Nickel, baru-baru ini raih penghargaan Anugerah Bisnis dan Hak Asasi Manusia (BHAM) 2025 dari SETARA Institute.

Penghargaan "Business and Human Rights Early Adopting Company" dengan skor 65 rating B itu diraih Harita Nickel, karena dinilai kompatibel dalam perlindungan HAM berdasarkan audit standar pertambangan global, Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).

Torehan prestasi yang diraih Harita Nickel itu pun langsung mendapat tanggapan, serta kritikan pedas dari Koordinator Perkumpulan Aktivis Maluku Utara di Jakarta, Yohanes Masudede.

Baginya, perhargaan tersebut sangat berbeda jauh dengan realitas yang dirasakan langsung oleh warga setempat, seperti krisis lingkungan, hingga hilangnya ruang hidup akibat ekspansi pertambangan tersebut.

"SETARA Institute bicara soal HAM, tapi mereka tidak melihat tangan-tangan warga yang harus terus menggali pasir, karena sumur mereka telah tercemar," ucapnya saat ditemui di bilangan Jakarta Pusat, pada Jumat (12/12/2025).

Yohanes juga menyampaikan bahwa penghargaan tersebut absurd dan berbahaya, karena memutihkan praktik gelap yang telah lama dikeluhkan warga, serta berpotensi menyesatkan publik Internasional karena tidak sesuai dengan situasi sebenarnya.

"Mereka bicara integritas perusahaan, tapi mereka menutup mata terhadap abrasi, sedimentasi, dan hutan yang hilang. Itu semua kalau bukan kehilangan Sense of Humanity, lalu apa?” ujar Yohanes.

Tak hanya itu, Yohanes yang juga seorang pengacara muda nasional, mengingatkan bahwa praktik suap-menyuap yang pernah dilakukan salah satu direktur anak perusahaan Harita Nickel, mestinya jadi catatan serius dalam pemberian penghargaan tersebut.

“Saya mau nanya, apakah IRMA dan SETARA Institute benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu? Bagaimana mungkin perusahaan yang pernah terseret kasus suap perizinan diberi penghargaan HAM? Ada logika apa di balik penghargaan itu?" Tuturnya.

Terkait hasil audit IRMA, menurut Yohanes, meskipun IRMA bekerja sesuai standar global, namun skor auditnya patut diragukan. Sebab, model pembiayaan audit tersebut ditanggung oleh pihak perusahan tambang secara langsung.

“Dari faktor finansial, ini jelas mengikis independensi auditor, sebab ada kelemahan struktural yang dapat dimanfaatkan oleh pihak perusahaan untuk mendapatkan legitimasi," tambah Yohanes.

Bagi Yohanes, seluruh rangkaian audit IRMA hanya soal kepentingan bisnis yang lebih diprioritaskan daripada aspek penyelamatan lingkungan dan kemanusiaan.

“Saya bersama teman-teman aktivis Malut melihat semua ini bukan sebagai evaluasi independen, melainkan bagian dari dukungan SETARA Institute dan IRMA atas praktik Greenwashing yang terjadi di Pulau Obi melalui Harita Nickel,” ungkapnya.

Disisi lain, Yohanes menganggap penghargaan dari SETARA Institute kepada Harita Nickel sebagai pukulan telak bagi warga Obi. Pasalnya, lembaga yang dikenal kritis itu justru beri penghargaan kepada perusahaan yang telah merampas ruang hidup masyarakat.

“SETARA Institute boleh punya metodologi, tapi metodologi tanpa empati adalah mesin kosong. Lembaga ini kehilangan Sense of Humanity. Dan jika penghargaan HAM tidak mempertimbangkan suara korban, buat apa penghargaan itu?” Tanya Yohanes dengan nada heran.

Yohanes juga menganggap bahwa penghargaan semacam itu bukan hanya membingungkan publik, tetapi juga memperdalam ketidakadilan bagi masyarakat lokal, dan justru memperkuat posisi perusahaan, sehingga melemahkan daya tawar warga.

“Ini bukan sekadar piagam. Ini stempel moral dan kemanusiaan. Jadi, ketika stempel itu diberikan pada pihak yang bermasalah, maka korban yang paling dirugikan adalah masyarakat Pulau Obi, kan?” Ujar Yohanes yang juga Peneliti IRDeM Institute.

Atas hal itu, Yohanes mengajak semua pihak yang sedang memberi untuk menuntut IRMA agar meninjau kembali hasil audit, serta meminta SETARA Institute lakukan klarifikasi dan mengevaluasi di balik penghargaan tersebut.

Sebab baginya, "Yang dibutuhkan masyarakat Pulau Obi adalah air bersih, lingkungan yang aman, dan hak hidup yang dihormati. Jadi, jika lembaga-lembaga yang fokus kepada isu HAM dan keberlanjutan ikut buta, maka patut dipertanyakan ada apa semua ini?” tutupnya. (Red).
Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.