Gerakan Kaum Muda dalam Pusaran Hegemoni Sektarianisme Kedaerahan

Editor: BIRO HALSEL

Foto: Jhon P. Sipondak, S.Pd (Mantan Ketua Cabang GMKI Ternate)

Oleh : John P. Sipondak, S.Pd
(Kepala SMA Peduli Bangsa Wooi)


Apa yang mendasari pergerakan kaum muda?


Jika kita menelusuri jejak sejarah, pergerakan kaum muda Indonesia selalu ditandai dengan semangat perubahan. 


Dari Budi Utomo hingga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, kita belajar bahwa pemuda kala itu berani meninggalkan sekat-sekat primordialisme kedaerahan yang dulu terbingkai dalam “Jong”: Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, dan lainnya demi satu tekad besar, yaitu mewujudkan Indonesia merdeka. 


Mereka sadar, jika ego sektarian terus dipertahankan, cita-cita hidup bebas hanya akan jadi bahan olok-olok sejarah.


Mereka tidak memilih jalan mudah. Di bawah ancaman kolonialisme, pilihan mereka hanya dua: merdeka atau mati. Dari serpihan semangat itulah lahir persatuan yang mengguncang dunia, menembus ruang ketakutan, dan menaklukkan egosentrisme kedaerahan.


Sumbangsih Pemuda Pasca-Kemerdekaan


Sumpah Pemuda terbukti menjadi batu pijakan menuju kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam waktu 17 tahun, kaum muda berhasil mengonsolidasikan semua kekuatan demi kemerdekaan, meskipun harus menempuh jalan darah dan air mata. Namun perjuangan tak berhenti saat proklamasi dikumandangkan.


Memasuki era pembangunan, kaum muda kembali dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana mengadopsi semangat generasi sebelumnya? Organisasi-organisasi pemuda bermunculan, hingga akhirnya pada 23 Juli 1973 lahirlah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), diprakarsai oleh lima organisasi besar: HMI, PMKRI, GMKI, PMII, dan GMNI. KNPI diharapkan menjadi wadah kolektif untuk mengisi pembangunan nasional.


Puncak peran kritis kaum muda kembali meletup pada Mei 1998, saat gelombang mahasiswa menjatuhkan rezim korup, diktator, dan otoriter. Semua rangkaian peristiwa ini menunjukkan: pemuda bukan sekadar penonton sejarah, tetapi pelaku perubahan.


Realitas Kontemporer: Pemuda dalam Cengkeraman Kepentingan


Sayangnya, semangat itu kini tereduksi. KNPI yang dulu menjadi lokomotif gerakan kini terjebak dualisme kepemimpinan, baik di tingkat nasional maupun daerah. 


Lebih ironis, organisasi ini terkesan menjadi “pagar betis” bagi kekuasaan, bukan lagi garda kritis bangsa.


Di sisi lain, muncul pula fenomena organisasi berbasis kedaerahan seperti Togale, Canga Muda, dan lain-lain yang membawa semangat primordialisme dalam balutan kebudayaan. 


Memang, hak berserikat dijamin konstitusi, dan tak salah jika orientasi perjuangan diarahkan pada kepentingan daerah. 


Namun, yang perlu diwaspadai adalah infiltrasi elit politik yang memanfaatkan organisasi-organisasi ini demi kepentingan elektoral.


Fanatisme buta, politik uang, dan politik identitas menjadi ancaman nyata. Jika dibiarkan, pemuda bukan hanya kehilangan idealisme, tetapi juga terperosok dalam dekadensi moral dan etika politik. 


Tan Malaka pernah mengingatkan, “Kemewahan terakhir seorang pemuda adalah idealismenya.”


Tantangan Peradaban: Antara Harapan dan Kehancuran


Sejarawan Arnold Toynbee menyebutkan, kehancuran peradaban ditandai oleh tiga faktor:


1. Gagalnya kelompok kreatif menghadapi disintegrasi.


2. Hilangnya kohesi sosial dan kepercayaan masyarakat (trust).


3. Lunturnya semangat kolektif dalam membangun peradaban.


Inilah yang kini mengintai Indonesia. Politik direduksi menjadi perebutan kuasa dan uang; hukum berjalan pincang, dan keadilan kian dijauhi. 


Demokrasi yang semestinya menjadi sarana memajukan kemajemukan justru kerap melahirkan ketidakadilan. Akibatnya, jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, sementara rakyat kecil terus diinjak oleh kuasa modal dan kekuasaan.


Kaum Muda: Agen Perubahan atau Penonton Sejarah?


Lantas, bagaimana sikap kaum muda? Tugas mereka tak cukup hanya berhenti pada poster, baliho, atau seremoni belaka. Dibutuhkan:


1. Pendidikan karakter yang membentuk sikap etis, bukan sekadar knowledge. Teladan lebih penting daripada wacana (“exempla trahunt, verba docent”).


2. Revitalisasi prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Kaum muda harus berjuang untuk keadilan, bukan hanya bagi kelompoknya, tetapi untuk semua warga bangsa Jong Ambon, Jong Batak, Jong Papua; Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Katolik dalam semangat Indonesia yang utuh.


Perubahan tidak datang dari langit. Kaum muda mesti merefleksikan sejarah, mentransformasikan mentalitas, dan membangkitkan akal sehat. 


Dalam buku Madilog, Tan Malaka berpesan: jika ingin maju, bangsa ini harus meninggalkan pola pikir mistis, menggantinya dengan materialisme dialektis berpikir logis, bekerja keras, dan berjuang demi perbaikan bersama.


Kaum muda adalah agent of change. Harapan tentang Indonesia yang lebih adil, beradab, dan sejahtera terutama di Halmahera Selatan bergantung pada mereka. 


Pertanyaannya: Apakah kita masih memiliki idealisme itu, atau justru memilih menjadi generasi yang diperbudak oleh ego sektarianisme?


(RD/Red)

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.