![]() |
Sumber: Meta AI |
Oleh: Melky Molle
Kalimat "Tuhan telah mati" dari Friedrich Nietzsche sering dikutip sebagai tanda pemberontakan terhadap agama.
Namun, jika dibaca lebih saksama, pernyataan ini bukan sekadar deklarasi ateistik, melainkan refleksi terhadap perubahan zaman yang telah meminggirkan Tuhan dari pusat kehidupan manusia.
Nietzsche tidak sekadar mengumumkan kematian Tuhan, tetapi menunjukkan bahwa manusia modern telah kehilangan fondasi spiritualnya di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam konteks ini, Nietzsche bukanlah pembenci agama semata, melainkan seorang filsuf yang resah dengan kekosongan makna dalam masyarakat modern.
Ia melihat bahwa nilai-nilai religius telah digantikan oleh sains, rasionalitas, dan kapitalisme.
Akibatnya, manusia hidup dalam kekosongan spiritual dan moral yang ia sebut sebagai nihilisme. Dunia telah kehilangan arah, dan Tuhan yang dulu menjadi pusat orientasi hidup, kini digeser atau bahkan dilupakan.
Jika kita cermati dunia digital saat ini, kekhawatiran Nietzsche seolah menjadi kenyataan. Teknologi mengubah cara manusia berkomunikasi, bekerja, bahkan menjalani kehidupan spiritual.
Aplikasi ibadah, khotbah daring, dan media sosial rohani menjadi bagian dari budaya kekristenan digital. Namun, di balik itu, kita menyaksikan bahwa keterhubungan digital tidak selalu menghasilkan kedalaman relasi, baik dengan sesama maupun dengan Tuhan.
Dunia digital menciptakan budaya instan: cepat, ringkas, dan efisien. Dalam budaya ini, iman yang menuntut perenungan, keheningan, dan kesetiaan justru terasa tidak relevan.
Kebutuhan akan refleksi dan kontemplasi kalah oleh tuntutan produktivitas dan pencitraan diri. Dalam konteks ini, apakah benar Tuhan telah mati? Atau justru manusialah yang secara aktif mengabaikan kehadiran-Nya demi kesibukannya sendiri?
Di sinilah pentingnya suara dari Paul Tillich, seorang teolog eksistensial yang mencoba menjembatani kekosongan spiritual zaman modern.
Tillich mengajukan konsep bahwa Tuhan bukan sekadar objek iman di luar sana, tetapi adalah dasar dari segala keberadaan (the ground of being). Artinya, Tuhan hadir dalam realitas terdalam manusia, dalam kecemasan, kesendirian, bahkan dalam keraguan dan pertanyaan.
Tillich memahami bahwa manusia modern tidak hanya menghadapi tantangan sosial dan ekonomi, tetapi juga krisis eksistensial: siapa aku, apa tujuanku, dan mengapa aku ada.
Ia melihat bahwa iman bukan solusi instan, melainkan keberanian untuk menjadi—the courage to be—yakni bertahan dan bertumbuh di tengah kecemasan, keraguan, dan kegagalan.
Dalam konteks digital, Tillich mengajak kita untuk tidak terjebak dalam spiritualitas artifisial. Ia menantang kita menemukan kehadiran Tuhan tidak hanya dalam ritus dan dogma, tetapi dalam keberanian menghadapi kenyataan hidup secara otentik.
Ini relevan ketika orang Kristen cenderung menyembunyikan keraguan dan penderitaan demi citra kesalehan di media sosial.
Spiritualitas digital yang otentik tidak berarti menolak teknologi, tetapi menggunakannya secara reflektif. Gereja dan komunitas beriman perlu menciptakan ruang-ruang digital yang memungkinkan percakapan mendalam, pengakuan jujur, dan perjumpaan yang tulus.
Iman yang berakar bukan pada tampilan luar, tetapi pada keberanian menghadapi kerapuhan manusiawi dengan keyakinan akan kasih Tuhan.
Dalam praktiknya, iman semacam ini dapat terlihat dalam dunia jurnalisme, aktivisme, dan kerja kemanusiaan.
Jurnalis Kristen yang hidup dalam semangat Tillich akan menolak laporan sensasional, dan memilih menyuarakan suara minoritas, keadilan sosial, dan kebenaran. Aktivis Kristen pun akan menghindari populisme semu, dan memilih bekerja dalam kesunyian namun dengan integritas.
Tillich memberi dasar filosofis bagi iman yang berpijak di bumi namun memandang ke langit. Iman bukan pelarian dari dunia semata, melainkan kekuatan untuk mengubahnya.
Dalam era teknologi, iman tidak boleh kehilangan kekritisan, tetapi juga tidak boleh kehilangan harapan. Teknologi bisa menjadi sarana pewartaan Injil, jika digunakan dengan bijaksana dan reflektif.
Sayangnya, banyak ekspresi kekristenan masa kini terjebak dalam permukaan. Popularitas, retorika motivasional, dan pencitraan sering kali menggantikan ketekunan dalam belajar, berdoa, dan mengasihi.
Budaya pragmatisme membuat iman menjadi alat mencapai tujuan, bukan lagi tujuan itu sendiri. Di sinilah tantangan kita untuk menghidupkan kembali spiritualitas yang mendalam.
Pemikiran ini membawa kita pada kesadaran bahwa Tuhan belum mati. Yang mati adalah kepekaan manusia untuk mengenali kehadiran-Nya.
Dalam dunia yang sibuk, bising, dan penuh tuntutan, kita perlu merebut kembali keheningan. Keheningan bukan sekadar absen dari suara, melainkan ruang spiritual untuk mendengar suara Tuhan yang lembut dan menuntun.
Menghidupkan kembali iman bukan berarti mundur ke masa lalu, tetapi menghadirkan Tuhan dalam konteks hari ini. Dalam dunia kerja, ruang kelas, ruang redaksi, media sosial, dan ruang keluarga.
Iman tidak boleh menjadi menara gading, tetapi harus menyapa dunia dengan wajah yang manusiawi dan penuh kasih.
Baik Nietzsche maupun Tillich, meski berbeda pandangan, sepakat bahwa manusia modern menghadapi krisis makna. Nietzsche menggugatnya secara keras, Tillich menawarkannya secara konstruktif.
Dari keduanya, kita belajar bahwa iman tidak lahir dari dogma, melainkan dari pergulatan batin yang jujur dan pencarian yang terus-menerus.
Akhirnya, tugas kita bukan membuktikan Tuhan secara intelektual, tetapi menghadirkan-Nya secara eksistensial.
Dalam keheningan, dalam keberanian menjadi diri sendiri, dan dalam kerja sehari-hari yang penuh kasih dan integritas.
Di sanalah Tuhan yang hidup ditemukan kembali—bukan sebagai ide, tetapi sebagai dasar hidup yang nyata. Semoga..
Daftar Bacaan
- Nietzsche, Friedrich. The Gay Science. Trans. Walter Kaufmann. Vintage, 1974.
- Nietzsche, Friedrich. Thus Spoke Zarathustra. Penguin Classics, 2003.
- Tillich, Paul. The Courage to Be. Yale University Press, 1952.
- Tillich, Paul. Systematic Theology, Volume I. University of Chicago Press, 1951.