![]() |
Foto: Abidin Mantoti |
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu lokal merupakan langkah konstitusional yang berpijak pada rekomendasi alternatif dari Putusan MK sebelumnya (55/PUU-XVII/2019).
Meski tidak bersifat terobosan baru, kebijakan ini memberikan momentum bagi penataan ulang manajemen teknis operasional pemilu, terutama pada tahap pemungutan dan penghitungan suara.
Pemisahan pemilu secara serentak nasional dan lokal diyakini mampu menyederhanakan kompleksitas teknis yang selama ini membebani penyelenggara, pemilih, dan sistem administrasi.
Namun, anggapan bahwa pemisahan ini adalah solusi ideal belum tentu berlaku tanpa penyelesaian atas sejumlah persoalan mendasar, terutama dalam hal sistem pemilu, desain surat suara, serta kesiapan infrastruktur pemilu di tingkat paling bawah: Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kompleksitas Sistem dan Surat Suara
Model pemilu di Indonesia tidak hanya unik, tapi juga rumit.
Pada Pemilu 2024, digunakan empat sistem sekaligus: List Proportional Representation (List PR) untuk DPR dan DPRD, Single Non Transferable Vote (SNTV) untuk DPD, Two Round System (TRS) untuk Pilpres, dan First Past The Post (FPTP) untuk Pilkada.
Dengan pemisahan pemilu, nasional menggunakan List PR, SNTV, dan TRS; sementara lokal menggunakan List PR dan FPTP.
Persoalan teknis bermula dari besaran daerah pemilihan (district magnitude). Dalam sistem List PR, jumlah calon legislatif yang diajukan partai menyesuaikan dengan jumlah kursi per dapil.
Jika dapil berisi 8 kursi dan terdapat 18 partai politik peserta, maka total calon bisa mencapai 144 orang hanya untuk satu surat suara DPR. Ini berdampak langsung pada ukuran dan kompleksitas surat suara.
Tidak hanya itu, desain surat suara yang rumit dengan nama calon yang kecil, serta keterbatasan literasi pemilih, memicu tingginya angka surat suara tidak sah.
Pada Pemilu 2019, angka tidak sah mencapai 11,12% di DPR dan 19,02% di DPD. Ini menunjukkan bahwa kompleksitas teknis bisa menggerus kualitas partisipasi pemilih dan menciptakan kebingungan dalam menyalurkan hak pilih.
Rasionalitas Pemilih dan Tantangan Sosialisasi
Dalam konteks demokrasi modern, pemilih idealnya bersikap rasional—membandingkan tawaran kebijakan dan rekam jejak kandidat.
Namun, ketika terlalu banyak informasi termuat dalam surat suara, rasionalitas pemilih terancam. Memilih hanya berdasarkan popularitas partai atau calon, atau bahkan menyerahkan pilihan pada pendamping di bilik suara, menjadi fenomena yang mengkhawatirkan.
Sistem pemilu yang terlalu padat dan serentak menimbulkan tantangan ganda dalam hal sosialisasi, terutama bagi masyarakat dengan tingkat literasi politik rendah. Alih-alih memperkuat kesadaran politik, pemilu yang terlalu rumit justru menjauhkan pemilih dari pengambilan keputusan yang sadar dan cerdas.
KPPS: Ujung Tombak yang Terbebani
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memikul beban berat saat hari pemungutan.
Dari proses penghitungan surat suara yang kompleks, pengisian formulir model plano, hingga pengamanan hasil, semua diselesaikan dalam waktu sangat terbatas.
Dalam praktik Pemilu 2019 dan 2024, banyak anggota KPPS mengalami kelelahan ekstrem, bahkan jatuh sakit.
Beban kerja fisik dan mental yang tinggi tidak sebanding dengan waktu yang diberikan.
Jika Pemilu tetap mempertahankan kompleksitas seperti sekarang tanpa pembenahan manajemen waktu dan sumber daya, maka keandalan hasil pemilu akan terus berada dalam bayang-bayang keraguan.
Refleksi dan Arah Perbaikan
Pemisahan Pemilu nasional dan lokal memberikan ruang untuk refleksi terhadap arah demokrasi elektoral Indonesia.
Penyelenggaraan yang semakin administratif, padat, dan teknis, telah menjauh dari semangat partisipatif yang inklusif.
Regulasi pemilu selama ini cenderung lebih fokus pada kepentingan peserta pemilu dalam merebut suara, ketimbang memperhatikan kapasitas pemilih dan beban penyelenggara.
Padahal, jika pemilih tidak mampu memilih secara sadar, dan penyelenggara tak diberi dukungan memadai, maka proses demokrasi kehilangan esensinya.
Desain pemilu bukan hanya soal teknis administratif, tetapi juga soal keadilan prosedural, kesederhanaan pilihan, dan aksesibilitas bagi semua warga negara.
Jika tidak disiapkan dengan baik, pemilu serentak, meski dipisah antara nasional dan lokal, tetap akan melahirkan masalah klasik: pemilih yang kebingungan, surat suara yang tidak sah, penyelenggara yang kelelahan, serta peluang bagi tumbuhnya praktik-praktik anti-demokratis seperti politik uang dan jual beli suara.
Oleh karena itu, pembentuk undang-undang harus berpikir ulang. Bukan sekadar tentang efisiensi pemilu, tetapi tentang keberlanjutan demokrasi.
Pemilu tidak boleh hanya menjadi ajang kompetisi elite politik, tapi juga harus menjamin hak rakyat untuk memilih secara cerdas, bebas, dan adil.