![]() |
Foto : Penulis |
Oleh : Sefnat Tagaku (Politisi Muda Hanura)
Sepintas Amatan Riak-riak Pasca Putusan MK
Sontak dinding media sosial dipenuhi dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terkait batas usia Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Dimana PSI meminta agar usia Capres dan Cawapres dapat diperbolehkan dibawah 40 Tahun, namun permintaan itu ditolak oleh MK.
Meski menolak gugatan tersebut, namun ada ruang lain yang dibuka oleh MK bagi mereka yang belum berusia 40 tahun untuk dapat mencalonkan diri sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Ruang itu diberikan kepada mereka (yang belum berusia 40 tahun) jika memiliki pengalaman sebagai pejabat negara berdasarkan hasil demokrasi, baik melalui Pemilu maupun Pilkada (baca : inkonstitusional Bersyarat).
Artinya, mereka yang sementara atau pernah menjabat sebagai Anggota DPRD, DPR RI, DPD RI, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, boleh menjadi Capres atau Cawapres meski belum berusia 40 tahun. Putusan itulah kemudian mengundang reaksi para netizen di media sosial, tentu ada yang sepakat, juga tidak.
Namun sayangnya, diantara pro-kontra hasil putusan MK itu, hanya ada satu dasar pemikiran yang diletakkan dalam menilai putusan tersebut, yakni; antara lolos atau tidaknya putera Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang dikabarkan akan ikut pada kontestasi Pilpres 2024 sebagai Cawapres. Padahal, hemat saya dibalik putusan MK, ada kejahatan besar yang sengaja dimainkan oleh para pemangku kepentingan untuk merebut kekuasaan negara melalui Pilpres pada 2024 mendatang.
Karena itu melalui catatan ini, saya akan berupaya menyuguhkan sekurang-kurangnya rekam jejak mengapa syarat usia Capres dan Cawapres digugat jelang Pilpres 2024, sehingga paling tidak kita sedikit memiliki refrensi terkait apakah muatan gugatan dan putusan MK tersebut adalah murni untuk demokrasi atau hanya mendorong kepentingan segelintir elite politik.
Wujud Jokowi Ada di PSI?
Tak bisa dinafikan bahwa sejak Presiden Jokowi masuk dalam arena politik, kontribusi PDI Perjuang sangatlah besar terhadapnya, bahkan sepanjang menjabat dua periode sebagai Presiden Republik Indonesia. Maka sebagai petugas Partai, Jokowi mestinya menunjukkan loyalitasnya terhadap perahu politik yang selama ini memenangkannya dalam berbagai kepentingan. Ini menimbulkan spekulasi bahwa Jokowi akan berjuang bersama Ganjar Pranowo.
Namun rupanya, hingga saat ini Jokowi belum menyatakan sikap kemana arah politiknya pada Pilpres mendatang. Ditengah belum jelasnya sikap Jokowi, kondisi politik nasional beberapa kali mengalami perubahan. Seperti, Demokrat yang sebelumnya mendukung Anies Baswedan kini beralih ke Prabowo Subianto. PKB awalnya mendukung Prabowo, sekarang bertekad bersama Anies.
Menariknya, PSI yang jauh sebelumnya telah mewacanakan bakal mendukung Ganjar Pranowo justru berpaling kepada Prabowo. Padahal, PSI begitu dikenal dengan Partai yang sangat memiliki loyalitas terhadap Jokowi. Artinya, sangat berpotensi arah PSI pada Pilpres 2024 mendatang tergantung sikap Jokowi. Pada fase inilah, banyak pengamat lalu menaruh curiga bahwa Jokowi akan mendukung Prabowo sebagai Capres RI.
Dalam kecurigaan akan sikap Jokowi pada Pilpres mendatang, nama Kaesang muncul di permukaan. Kehadiran putera kedua Jokowi itu (Kaesang) lansung dijemput manis oleh PSI, bahkan menjadikannya sebagai Ketua Umum menggantikan mas Giring Ganesha. Ini sekaligus menambah kecurigaan besar oleh para pengamat politik, bahwa Jokowi akan mendukung Prabowo dan memilih berbedah dengan Partai yang selama ini memenangkannya (PDIP).
Referensi lain untuk dapat menguatkan kecurigaan para pengamat terhadap sikap politik Jokowi, yaitu dengan menguatnya nama Gibran bakal mendampingi Prabowo di Pilpres 2024 mendatang. Jika demikian, apakah gugatan PSI terkait syarat usia Capres dan Cawapres telah didesain sebelumnya untuk meloloskan Gibran sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto? Paling tidak, sebagian dasar pemikiran di atas dapat menjadi bahan referensi untuk menjawab pertanyaan ini.
Dengan demikian, jika benar bahwa perdebatan hingga digugatnya soal syarat usia Capres-cawapres adalah untuk 'meloloskan' Gibran, maka benar pula kalau untuk menjadi orang besar di negeri ini harus punya jaringan kuat secara internal (orang dalam). Kalau sudah begitu realitasnya, kita bisa berasumsi bahwa hukum di negara ini hanya milik orang-orang besar (pejabat) yang sewaktu-waktu bisa diubah-ubah berdasarkan kebutuhan.
Akhirnya, sebagai warga negara, saya berharap proses Pilpres mendatang akan berjalan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, sehingga siapapun yang akan dipercayakan rakyat untuk memimpin negara ini dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ingat, pemilih cerdas akan melahirkan pemimpin yang berkualitas. ("").