![]() |
Foto : Penulis (Istimewa). |
Oleh: Renaldo Y. Garedja, S.IP, M.Si
Baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menyampaikan Daftar Calon Sementara (DCS) untuk pencalonan legislatif (caleg) di semua tingkatan. Publik pun diminta untuk memberi tanggapan serta masukan hingga batas waktu yang telah di tentukan. Sebagai bahan masukan, bila ada bakal caleg yang mungkin tidak memenuhi syarat dalam proses pendaftaran pencalonan bisa diberi tanggapan langsung kepada penyelenggara (KPU). Publik diminta partisipasi aktif dalam proses ini, sebab melalui tahapan ini nantinya akan bahan dalam pembentukan nama-nama dalam Daftar Calon Tetap (DCT).
Perlu kecermatan dan ketelitian publik dalam menilai dan memberi tanggapan agar DCT adalah orang yang benar-benar memiliki integritas, dedikasi serta mempunyai reputasi yang baik dan memiliki hubungan emosional dengan konstituen di daerah pemilihannya.
Rentan Politik Uang dan Politisasi Identitas
Diskursus tentang politik gagasan akhir-akhir ini santer dibicarakan. Berbagai platform media sosial, media mainstream hingga ada yang bersafari ke daerah-daerah dan lembaga pendidikan demi memperkuat politik gagasan dan memberikan pendidikan politik secara informal. Tentunya, gerakan ini adalah cara atau metode kekinian yang perlu didukung. Penulis menilai, ini adalah trend yang positif untuk pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Tak berlebihan, sebab dalam beberapa dekade terakhir praktik politik patronase masih menjadi momok tersendiri. Dalam konteks pemilu, praktik ini tentunya menjadi masalah setiap kontestasi politik. Patronase secara konseptual adalah kegiatan pemberian uang tunai, barang dan jasa dan keuntungan ekonomi lainya yang di distribusikan oleh politisi untuk keuntungan elektoral. Atau dalam regulasi pemilu disebut dengan politik uang.
Bak penyakit, praktik ini rasanya sulit disembuhkan. Namun demikian, beberapa upaya mengentaskan masalah ini terus dilakukan.
Hal tersebut dapat kita lihat dari upaya penyelenggara pemilu dalam hal ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hampir di setiap helatan selalu mengeluarkan pemetaan kerawanan pemilu atau Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). Ini adalah langkah preventif. Namun, pada pelaksanaannya, masih saja ditemukan persoalan yang sama dan terjadi secara terus menerus. Perlu adanya gerakan kolaborasi dan kesadaran bersama dari seluruh elemen dalam menyelesaikan masalah ini.
Pengawasan tentunya diperlukan untuk semua kalangan, baik peserta, penyelenggara maupun stakeholder terkait lainya, harapanya kedepan pemilu berjalan dan menghasilkan produk yang berkualitas.
Seiring dengan berjalannya waktu, Fenomena politik keramik dan membagi-bagikan bahan bangunan rumah ibadah kini masif dipraktikan. Bak menjadi malaikat, oknum politisi giat melakukanya secara terbuka dan sistematis. Di data secara terang-terangan lalu dijadwalkan kapan si penerima mendapatkan paket pemberian. Praktik semacam ini perlu disadari bersama. Bahwa pergeseran atau hakikat dari politik itu sendiri telah direduksi menjadi arena membagi-bagikan keramik dan bahan bangunan rumah ibadah lainya dan bukan lagi pada tataran ide dan gagasan jangka panjang yang diejawantahkan melalui program pro pada rakyat nantinya. Publik diajari menghamba pada para pemberi sumbangan.
Sederhananya ini bagian dari politik transaksional. Akhirnya, arena politik menjadi seperti pasar bebas. Pemilih di sulap sebagai produsen dan politisi sebagai konsumen. Kegiatan jual beli suara pun tak terhindarkan lagi.
Hal ini dapat dibenarkan oleh laporan Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) ada 11 Provinsi dengan resiko tinggi dana kampanye sebagai sarana tindak pidana pencucian uang.
"Ada 11 Provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang bercampur dana hasil ilegal. Artinya memang ada potensi dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik," ujar kepala PPATK, IVAN Yustiavandana, dilansir dari YouTube Kemenko Polhukam (8/8).
Masalah lainya yang tak kalah rumit diselesaikan adalah politisasi identitas. Rahmat Bagja, dilansir dari laman www.bawaslu.go.id mennyampaikan, "politisasi identitas di Indonesia berkaitan dengan masalah etnis, ideologi, kepercayaan, dan juga kepentingan-kepentingan lokal yang direpresentasikan oleh elit melalui artikulasi politik mereka".
Artinya Pemilu kita masih rentan dengan isu politisasi identitas. Kecenderungan politisi kita masih sering mempolitisasi identitas dalam memenangkan sebuah pertarungan politik. Berkaca pada pemilu 2019, begitu terpolarisasinya masyarakat akibat politisasi identitas. Masyarakat menjadi terkotak-kotak hingga terjadi kerusuhan di beberapa tempat. Sama halnya dengan politik uang, identitas sudah menjadi komoditas unggulan bagi para kandidat.
Minimnya ide, gagasan serta jiwa nasionalisme memperkuat para peserta pemilu cenderung terjerumus pada politisasi identitas. Pun, peran-peran penting lainya oleh pemangku kepentingan seperti pemerintah, Partai Politik, dan tokoh masyarakat perlu di tingkatkan. Parpol misalnya, penggodokan dan internalisasi nilai-nilai kebangsaan serta ideologi sangat mempengaruhi lahirnya peserta atau calon yang berkualitas. Sudah banyak pengalaman yang dilewati dalam beberapa tahun terakhir, hal itu menjadi pembelajaran penting. Tentunya, hal ini perlu diseriusi bersama. Agar kelak, di tahun 2024, pemilu dan pemilihan kepala daerah terbebas dari belenggu Politik Uang dan Politisasi Identitas.