![]() |
Foto : Istimewa. |
Oleh : Sefnat Tagaku, Politisi Muda Hanura.
Pengamatan Penulis : Pengalaman Pasca Pesta Demokrasi.
Empat sampai Lima bulan kedepan, masyarakat Indonesia secara umum dan khususnya di Maluku Utara (Malut) akan menggelar pesta demokrasi melalui momentum Pemilihan Legislatif (Pileg). Agenda lima tahun sekali ini memberikan hak dan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan sikap politik dalam melahirkan wakil-wakil masyarakat dari tingkat nasional hingga ke daerah-daerah.
Karena itu, tentu agenda ini tidak bisa sekedar dimaknai sebagai suatu momentum biasa yang setiap lima tahunnya akan dilangsungkan, sebab hal tersebut merupakan pergumulan bagi masa depan bangsa dan negara ini. Maka perlu adanya kesinambungan konsep dan gagasan antara (rakyat) sebagai pemilih dan (kandidat ) sebagai pemangku kepentingan politik (peserta pileg) dalam menjemput pesta demokrasi didepan mata.
Meski demikian, realitas telah banyak menjawab berbagai pertanyaan dari perhelatan pemilu pada tahun-tahun sebelumnya. Realitas-realitas sosial yang dialami pasca momentum pemilu itu, rupanya masih menggelisahkan bahkan menakutkan. Dimana agenda yang bagi saya cukup sakral ini digunakan sebagai ruang perdebatan tanpa solusi, hingga berujung pada sebuah perpecahan.
Sementara kita masih miskin mutu dan kualitas pendidikan serta kesehatan. Infrastruktur pembangunan jalan banyak yang belum terhubung. Kegelapan masih menghantui masyarakat kita yang berada di desa-desa pelosok akibat belum adanya arus listrik. Fasilitas-fasilitas untuk pengembangan dan peningkatan ekonomi rakyat pun tidak mumpuni. Lalu ini semua salah siapa?
Hal ini karena dimulai dengan adanya proses jual-beli suara pada setiap momentum politik, mendagangkan identitas (agama dan suku), hingga pada praktek-praktek yang tidak mencerminkan nilai demokrasi sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Alhasil, tujuan negara dalam mensejahterakan masyarakat melalui momentum politik menjadi bias dan tidak tercapai. Korbannya adalah masyarakat, bahkan berulang kali.
Maka benar apa yang disampaikan oleh Mujiono Hafidh Prasetyo yang mengutip ungkapan Daniel Duncan pada jurnalnya yang berjudul "Kejahatan Politik Uang Dalam Pemilu Terhadap Konstruksi Pemerintahan", bahwa 'dengan satu sen uang seseorang dapat menguasai manusia'. Ungkapan ini, bagi saya adalah sebuah kritikan pedas kepada pemangku kepentingan dan pula menjadi refleksi bagi pemilih (rakyat).
Apa Solusinya Jelang Pemilu 2024?
Menjelang tahun 2024, banyak atribut partai politik telah memenuhi badan jalan di setiap wilayah dimana menjadi daerah pemilihan pemangku kepentingan. Berbagai kata-kata gombalan terus membisik ditelinga masyarakat. Pun, tak kalah dengan agenda bagi-bagi sembako bahkan uang dari peserta pemilu kepada rakyat.
Pada fase ini, bagi saya telah menyuguhkan opsi kepada masyarakat, siapa yang bakal dipilih. Apakah yang dipilih adalah mereka yang datang dengan metode bagi-bagi sembako dan uang, ataukah mereka yang bertekad melayani dan siap menjadi penyambung lidah masyarakat serta berani melawan hal salah sebagai keberpihakannya kepada rakyat?
Jika rakyat menginginkan perubahan dan kemajuan, maka mesti yang dipilih adalah mereka yang datang dengan sejuta gagasan dan berjiwa pejuang bagi masyarakat. Sebaliknya, jika agenda lima tahun sekali itu hanya sekedar dipahami sebagai momentum mendapatkan sembako dan uang, maka pilihlah kepada mereka yang menggunakan metode money politic.
Karena pada prinsipnya, kedaulatan diberikan sebebasnya kepada rakyat untuk menentukan pilihan mereka sebagai penyaluran hak politik. Dengan demikian, masa depan daerah ini sangat ditentukan oleh rakyat itu sendiri. Salah memilih, akan memberi dampak bagi negara maupun daerah ini kedepan.
Akhirnya saya mengutip apa yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Dewan DPR RI, Adang Daradjatun, bahwa “Wakil rakyat bukan sekadar jabatan belaka, tapi juga dibaluti visi-misi dan nurani. Mereka yang terpilih diharapkan menjadi figur dengan sekujur tubuh yang merakyat serta perilaku etis yang menunjukkan bahwa mereka terhubung dan berbicara tentang rakyat dan nurani". ("").