![]() |
Foto : Filsuf Stoik, Lucius Annaeus Seneca. |
Oleh : Melky Molle
Secara etimologis, persepsi (perception), berasal dari bahasa Latin perceptio atau percipere, yang artinya mengambil atau menyimpulkan sesuatu. Secara umum, persepsi diartikan sebagai sebuah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Berdasarkan penyerapan makna kata tersebut, dengan demikian dapat di artikan bahwa persepsi adalah upaya melahirkan pendapat, baik positif maupun negatif. Persepsi akan selalu mempengaruhi diri seseorang dalam melakukan suatu tindakan, dan atau menyimpulkan sesuatu terhadap objek yang diamati.
Munculnya suatu persepsi positif ataupun persepsi negatif, semua bergantung pada bagaimana cara individu menggambarkan segala pengetahuannya tentang suatu obyek atau peristiwa, yang dipersepsikan lewat panca indera didalam dirinya.
Baik indera pendengaran (telinga), indera penciuman (hidung), indera penglihatan (mata), dan indera perasa (lidah), dan indera peraba (kulit). Oleh karena itu, persepsi akan disebut rasional jika dibangun atas kemampuan indera-indera yang ada dalam diri seseorang.
Persepsi Rasional dalam Ajaran Filsafat Stoa
Ajaran tentang persepsi itu sendiri dapat kita pelajari dengan berpijak pada ajaran Stoa atau Stoikisme. Dalam ajaran Stoikisme dijelaskan bahwa di dunia ini, manusia hidup atas kendali pikiran, emosi, opini, persepsi, dan tindakan dirinya. Selain itu, ada juga kendali dari luar diri seperti kekayaan, reputasi, kesehatan, dan opini orang lain.
Menurut Lucius Annaeus Seneca, seorang filsuf Stoik, berpendapat bahwa; "hidup yang dikendalikan oleh opini orang lain adalah hidup yang tidak rasional, atau tidak masuk akal."
Hal ini jelas menurut Seneca, bahwa hidup karena opini orang lain tanpa mendasarkan rasionalitas, dan tanpa menyadari keberadaan kita, maka sudah pasti kita akan jatuh pada keinginan-keinganan diri. Misalnya, ketimbang kita harus melihat kekayaan orang lain, lebih alangkah baiknya kita mencermati apa yang kita miliki sekarang.
Hidup dengan opini orang lain juga akan melahirkan perilaku menyimpang karena cenderung ikut-ikutan. Akhirnya, resistensi terhadap individu yang dipersepsikan oleh karena pembenaran objektif (justification object) dan opini orang lain (others opinion), dapat dibenarkan karena tidak terbangun secara pengetahuan logis (logical knowledge).
Pengendalian Diri
Apapun narasi yang dibangun atas dasar kebencian, serta persepsi buruk dan sentimennya orang lain atas diri kita, filsafat Stoikisme memberi jalan bahwa hidup tidak semuanya dapat dikendalikan oleh kita sendiri. Baik itu kekayaan, reputasi, kesehatan, bahkan termasuk opini orang lain.
Pada titik ini, dapat dibenarkan bahwa persepsi sebagai akar pengendalian diri manusia. Dan oleh karena itu, bangunlah persepsi dengan mengfungsikan indera-indera kita, bukan atas dasar kebencian dan sentimen kita terhadap objek, atau orang lain.
Jadilah Merdeka dari persepsi orang lain atas diri kita, dan bijaklah dalam mengendalikan diri dan emosi. Dirgahayu Indonesia ke-78 Tahun. Merdeka!!!