![]() |
Foto : Istimewa |
'Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.' Begitu kita mengenal bahkan memahami arti kata demokrasi secara harafiahnya. Dengan demikian, nilai dari demokrasi itu adalah semata-mata untuk menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Rakyat mestinya menjadi 'raja' dari berbagai aspek kehidupan. Kongkritnya, rakyat diberi kebebasan dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini, termaksud kebebasan politik untuk memilih pemimpinnya sebagai upaya mensejahterakan kehidupan mereka.
Meski demikian, terkadang persoalan kebebasan (demokrasi) dalam memilih pemimpin selalu saja berhubungan erat dengan masalah ekonomi. Ekonomi menjadi pertimbangan rakyat dalam menentukan siapa pemimpinnya.
"Saya boleh memilih anda, asalkan ada jasa yang diberikan kepada saya". Semisalnya memberikan uang. Pada fase ini, sebagian orang menyebutnya dengan jual-beli suara, atau trendnya adalah Money Politik (Politik Uang).
Terkait dengan itu, Milton Friedman membenarkan melalui bukunya yang berjudul Capitalism and Freedom, bahwa ada dua jenis kebebasan yang mesti dipahami, yaitu; kebebasan politik dan kebebasan ekonomi. Bagi Milton Friedman, bahwa tanpa kebebasan ekonomi tidak mungkin ada kebebasan politik.
Artinya, pikiran Milton mengakui adanya ketergantungan hak kebebasan pada persoalan ekonomi. Meski pikiran Milton Friedman masih dapat diperdebatkan, namun paling tidak gagasannya telah banyak dibuktikan dengan sejumlah realitas sosial yang terjadi hari ini.
Uang dijadikan penentu siapa yang bakal menjadi pemimpin. Karena itu, kerap terdengar ucapan yang keluar dari mulut rakyat, 'ada uang, ada suara'. Pemahaman seperti inilah, yang kemudian menjadikan momentum lima tahun sekali itu sebagai ajang mendapatkan 'uang'.
Padahal, momentum pemilihan (Pileg, Pilkada, Pilpres) merupakan kesempatan emas rakyat untuk dapat memilih pemimpin yang dapat membawah perubahan bagi suatu daerah. Jika uang sudah menjadi penentu, maka dengan sendirinya membuka peluang bagi para pemangku kepentingan yang hanya bermodalkan uang untuk menduduki kursi-kursi kekuasaan.
Pada titik inilah, sebetulnya telah menghilangkan hakikat kedaulatan rakyat seperti yang dimaksudkan dalam makna demokrasi. Suara rakyat dibeli dengan harga yang murah, sehingga misi dari sebuah pesta demokrasi tidak lagi tercapai.
Konsekuensinya, kesejahteraan rakyat jauh dari harapan. Rakyat hanya bisa berharap, namun tidak terwujud. Saya menyebutnya, bagai seseorang yang lagi mimpi di siang bolong. Lantas, jika suara rakyat sudah dibeli oleh pemangku kepentingan atau elite politik, apa dampak bagi masyarakat.
Dampaknya bervariasi, baik itu pembangunan infrastruktur, ekonomi, pendidikan, budaya dan lainnya. Dampak-dampak inilah yang perlu direfleksikan oleh masyarakat, sehingga ada pembenahan diri untuk tidak kembali menjadikan uang sebagai penetu siapa yang bakal menduduki kursi-kursi kekuasaan.
Selain dari dampak di atas, melalui praktek politik uang pula dapat melahirkan pemimpin yang berjiwa korup. Sebagaimana tindakan korupsi yang dapat merugikan suatu negara atau daerah, begitu pula dengan bahaya money politik terhadap masyarakat. ("").