Peran Perempuan dalam Gereja

Editor: KritikPost.id
Oleh : Apriansa Atapary
(Bendahara cabang GMKI Ambon Masa Bakti 2020-2022)


PEREMPUAN dalam berbagai sudut pandang baik secara ciri-ciri, peran, keluarga dan lain-lainnya di beri berbagai banyak artikulasi, Dan yang paling melekat dari sisi perempuan adalah soal feminim atau feminimitas dari bahasa prancis yaitu merupakan kata sifat yang menggambarkan tentang perempuan, maksudnya ialah sifat kesabaran, kelembutan, kebaikan dan lainnya yang dinilai memberikan dampak positif bagi orang lain. 

Pada umumnya perempuan memiliki peran-peran khusus yang secara spesifik dipandang merupakan bagian keperempuanan yaitu sebagai Istri, Ibu dan Pekerja Sukarela (Kerja Rumah Tangga) sehingga sifat feminim menjadi poin penilaian terhadap perempuan yang digolongkan sebagai “Perempuan Baik” untuk memenuhi definisi perempuan yang sesungguhnya sehingga, pandangan seperti inilah yang memberikan ruang sempit bagi Perempuan dalam Mengambil peran yang lebih luas dalam lingkungannya baik itu lingkungan pemerintah, masyarakat maupun Gereja. 

Contoh yang paling sederhana yaitu mengenai jam pulang seorang perempuan di mata lingkungan masyarakat, adapula para perempuan yang mendapat diskriminasi secara verbal seperti pada pemilihan presiden amerika serikat tahun 2016 saat Donald Trump menberikan respon terhadap opini dari hallery clinton dengan kalimat “such a nasty women”. Perempuan seharusnya pada aspek-aspek tertentu mampu memberikan konstribusi yang bijaksana hanya saja dipersulit dengan stigma-stigma yang telah di dudukan dari sejak perempuan itu ada. Konteks perempuan jika dilihat dari sundut pandang Alkitab-iah yang diawali dengan kisah penciptaan, saat Allah menciptakan manusia pertama di bumi yaitu adam (laki-laki) yang di buat Allah dengan tanah liat dan diperolehnya hembusan nafas Allah dan hawa (perempuan) yang di ambil dari tulang rusuk adam, secara peran dihadirkan sebagai penolong bagi adam (Kej 2:18). 

Hal inilah yang kemudian menjadi indikator terhadap keterbatasan perempuan jika mengambil peran yang lebih karena dianggap kehadirannya tidak boleh atau harus melebihi dari pada lawan jenisnya. Jika ditelusuri lebih dalam mengenai pandangan Alkitab tentang perempuan kita dapat melihatnya dari beberapa tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab. Secara aturan pemerintahan pada zaman romawi saat itu dalam perjanjian lama perempuan di anggap sebagai kaum yang rendah, apalagi jika perempuan tersebut dari latar belakang tatanan sosial yang rendah maka gerakannya akan jauh lebih terbatas dibandingkan dengan perempuan dengan status sosial kelas atas. Begitupun dengan perempuan yang di gambarkan dalam perjanjian baru bagi orang yahudi perempuan adalah kaum yang lemah, sehingga tindakan mereka dibatasi, hak dan kewajiban serta peran mereka juga dikurangi bahkan tidak jarang perempuan juga diperbudak dan diperlakukan secara tidak adil. Tetapi kehadiran Allah dalam rupa Yesus Kristus hadir untuk membawa perubahan besar bagi kaum perempuan dan memberikan pembebasan dari seluruh sikap diskriminatif. 

Semuanya dapat dilihat dari sejak Allah memberikan peran perempuan dalam kerja Yesus untuk membritakan Injil dan menunjukan MujizatNya bagi orang banyak. Bisa dilihat ketika selain murid Yesus yang bersama-sama denganNya tetapi juga ada perempuan-perempuan yang melayaniNya (Luk. 8:1-3), kisah pelayanan dari 2 orang bersaudara yaitu maria dan marta ketika melayani Yesus (Luk,10:38), dan para perempuan- perempuan galilea yang dipakai Tuhan menjadi saksi mata kebangkitan Yesus Kristus (Luk 23:50). Hal-hal tersebut menunjukan pandangan yesus terhadap perempuan dengan memiliki kedudukan yang sama dan setara dengan laki-laki serta memberikan pengajaran bahwa perempuan juga dapat bertindak sebagai revolusioner.

Gereja dalam hal ini merupakan wadah penggerak untuk menyuarakan hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang segambar dan serupa dengan-Nya. Kontribusi Gereja jika dapat dilihat dari beberapa tahapan ketika adanya Gereja mula-mula yang menggambarkan kehidupan manusia pada saat itu dan tingkat pengenalan terhadap Allah sebagai Tuhan dan Juruselamat memberikan sebuah kesimpulan bahwa kehidupan yang berlandasan “Kasih” dalam hal ini “kasih terhadap sesama” menjadi poin utama pada zaman itu (Kis 2:41-47), tetapi lagi-lagi ada beberapa gambaran mengenai posisi perempuan pada saat itu dimana ada beberapa aturan yang memberikan batasan terhadap perempuan dalam pelayanannya seperti halnya tidak diijinkan menjadi saksi di pengadilan, duduk terpisah dari laki-laki disinagoge dan lain sebagainya. 

Gereja kemudian dalam perjalanannya tidak sedikit menutup ruang bagi perempuan dalam mengambil peran untuk menjawab visi dan misi Gereja seperti dapat dilihat juga pada masa pertengahan sebelum reformasi perempuan dipandang sebagai kaum “Seksualitas” karena sebagai penyebab sumber kejatuhan manusia kedalam dosa sehingga tak sedikit perempuan memilih hidup “Selibat” hanya untuk menyatakan kelayakannya dalam penyembahan terhadap Allah. Kemudian setelah pasca reformasi hingga masa kini perempuan-perempuan terkhususnya perempuan Gereja mulai memberanikan diri untuk menyatakan kelayakannya secara terbuka untuk diakui.

Seperti yang kita ketahui bahwa di dalam Gereja ada jabatan-jabatan untuk membantu pelayanan serta dengan fungsinya masing-masing yaitu jabatan pendeta yang berfungsi sebagai gembala yang membritakan firman dan melayani sakramen,diaken berfungsi untuk pelayanan rumah,penatua berfungsi sebagai pelaksanaan disiplin atau aturan gereja,dan pengajar berfungsi melayani pengajaran iman. Hal inilah yang dapat kita lihat bahwa pada masa kini perempuan-perempuan turut mengambil bagian didalamnya.

Gereja masa kini dalam menjalankan visi dan misinya sudah memberikan fokus pelayanannya bukan hanya kepada penguatan secara spiritualitas umat tetapi turut mengambil peran dalam penyuaraan kesadaran umat tentang kehidupan di lingkup Sosial-Ekologi Gereja. Gereja terus mengembangkan diri dalam menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta konteks masalah yang terjadi. Kesetaraan gender menjadi salah satu pokok-pokok panggilan gereja yang dicantumkan dalam nomenkaltur “Gereja dan Perjuangan Hak Asasi Manusia” Gereja menyadari sungguh bahwa kehidupan umat banyak tindakan-tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia baik dalam masif maupun dalam praktik hidup sehari-hari yang tampak dalam bentuk diskriminatif berdasarkan suku, etnik, kepercayaan, jenis kelamin bahkan orientasi seksual yang berbeda. 

Gereja juga mencatat bahwa di Indonesia kelompok-kelompok yang rentan ialah kaum perempuan, anak-anak dan mereka yang berkebutuhan khusus 5. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gereja sendiri sudah membantu menyuarakan mengenai konteks Kesetaraan Gender. Peran perempuan dalam Gereja secara cerita sejarah dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari sudut pandang Alkitab Allah sendiri sudah secara gamblang memberikan ruang dan tempat bagi perempuan sebagai saksi dalam karya penyelamatan Allah bagi Dunia.

Hanya saja paradigma yang didudukan oleh pemikiran manusia yang diselibkan dalam aturan dan kebudayaan mengenai konsep pencitaan manusia dari Allah yang kemudian membatasi ruang gerak perempuan. Dan kemudian Gereja menyadari akan konsep pencitaan Allah yaitu manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengannya memberikan ruang besar untuk perempuan lahir kembali sebagai mahkluk yang diposisikan setara dalam berbagai aspek baik dalam lingkup masyarakat, pemerintahan maupun Gereja. 

Sehingga ini menjadi sebuah catatan besar bagi perempuan-perempuan terkhususnya perempuan Gereja bahwa kesempatan itu sudah ada, mari sama-sama kita manfaatkan dengan baik kehadiran kita sebagai perempuan Gereja dalam pemahaman akan panggilan pemberitaan dan penguatan iman serta pengenalan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan yang adalah Juruselamat dan Sang Kepala Gerakan di dalam gerakan Tercinta ini Rumah Biru GMKI. ("").

Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.