Menggugat Model Penyuaraan Pemilu 2024?

Editor: KritikPost.id

Abidin Mantoti
Tata Kelola Pemilu Unsrat Manado

Sistem pemilu proporsional terbuka saat ini sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti diberitakan pada sejumlah media nasional, gugatan secara materil berkaitan dengan norma tentang sistem pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 436 ayat (3). 

Para penggugat menyampaikan sejumlah dalil mengenai sistem proporsional terbuka. Pertama, sistem proporsional terbuka berbasiskan suara terbanyak dibajak oleh Caleg pragmatis yang hanya bermodal popularitas tanpa memiliki ikatan ideologis atau punya pengalaman dalam mengurus organisasi politik, akibatnya ketika terpilih Caleg hanya mewakili dirinya sendiri dan bukan mewakili Partai Politik. 

Kedua, pasal-pasal tersebut menimbulkan individualisme para politisi yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal Partai Politik. Sistem semacam ini melahirkan liberalism politik yang menempatkan individual secara total dalam pemilu, padahal peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat (3). 

Ketiga, sistem semacam ini melemahkan pelembagaan partai politik, Caleg terpilih tidak loyal dan tidak tertib pada garis komando Partai. Keempat, pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut menjadikan pemilu berbiaya mahal dan melahirkan multikompleks, seperti persaingan antar Caleg yang tidak sehat, politik uang, juga berbiaya tinggi dalam pencetakan surat suara pemilu Legislatif yang terlalu banyak. 

Kelima, kontestan pemilu adalah partai politik, sehingga partai politiklah yang menunjuk anggotanya untuk duduk di Parlemen. Keenam, pemohon meminta MK menyatakan frasa “terbuka” dalam Pasal 168 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta frasa “proporsional” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sistem proporsional tertutup”.

Sejumlah analis dan pakar kepemiluan menolak  wacana untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup dengan menakankan bahwa MK tidak memiliki legalitas karena pilihan terhadap sistem apa yang diambil merupakan ranah consensus pembentuk undang-undang yakni partai politik. MK hanya memastikan prinsip konstitusionalitas pemilu berjalan sesuai UUD 1945 diterapkan secara konsisten dalam memilih sistem pemilu, serta pilihan terhadap sistem pemilu koheren dengan tujuan pemilu yang ingin diwujudkan. MK juga diminta konsisten mempertahankan sistem proporsional terbuka sesuai Putusannya pada tahun 2009 lalu.

Secara historis, perubahan sistem pemilu dari prorporsional tertutup ke terbuka merupakan amanat dari semangat reformasi politik dan kemajuan demokrasi elektoral di Indonesia, yang mana sistem proporsional tertutup menjadi salah satu penyebab rejim Orde Baru dapat berkuasa selama 32 tahun melalui proses elektoral semu.  Maka perubahan sistem pemilu sejak amandemen konstitusi UUD 1945 sebanyak empat tahap yang menandai perubahan sistem politik Indonesia merupakan amanat dari semangat reformasi. Loncatan perubahan sistem pemilu itu dimulai pada Pemilu tahun 2004. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh DPR, melainkan dipilih secara langsung melalui pemilihan langsung oleh rakyat, juga terbentuknya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

Sejak amandemen Konstitusi itulah Indonesia melaksanakan Pemilu Legislatif menggunakan sistem List Proporsional Representation dengan mekanisme penyuaraan semi terbuka pada pemilu 2004, kemudian pada Pemilu tahun 2009 hingga Pemilu tahun 2019 menggunakan model penyuaraan terbuka penuh. Jadi, gugatan sistem proporsional terbuka oleh sejumlah warga negara hakikatnya sedang menguji konsistensi MK terhadap putusan sebelumnya mengenai perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka. Dalam putusan MK Nomor 22-24/PUU/VI/2008 menyatakan bahwa Pasal 214 dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR dan DPRD yang mana calon terpilih diberikan oleh Partai Politik kepada nomor urut terkecil dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara dihadapan hukum. Pasal tersebut juga memberi kewenangan penuh kepada Partai Politik mengatur calegnya untuk menempati nomor urut terkecil, padahal belum tentu diterima atau disukai oleh rakyat.  

Gugatan mengenai sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu seperti disebutkan diatas sebenarnya berkaitan dengan model penyuaraan yang merupakan salah satu variabel sistem pemilu. Sebagaimana diketahui, sistem pemilu memiliki empat variabel yakni besaran daerah pemilihan, kandidasi, model penyuaraan, dan formula pemilihan. Model penyuaraan dimaksud adalah bentuk surat suara pada jenis Pemilu Legislatif Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 

Pada sistem proporsional tertutup seperti di era Orde Baru pemilih tidak langsung memilih caleg melainkan memilih partai politik, surat suara hanya memuat logo partai politik. Sementara caleg ditentukan oleh partai politik yang disusun berdasarkan nomor urut. Biasanya nomor urut terkecil yang secara otomatis akan ditunjuk menduduki kursi panas di parlemen. Sedangkan pada sistem proporsional dengan model penyuaraan terbuka bentuk surat suara mencantumkan Caleg sebanyak kursi yang tersedia pada daerah pemilihan, seperti tampak pada surat suara pemilu tahun 2019. Sehingga warga negara menyalurkan hak politiknya dengan mencoblos langsung nama atau nomor urut Caleg bersangkutan dan yang terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak.

Jika dilihat sesuai content gugagatan diatas, ternyata persoalannya bukan pada sistem pemilu namun pada internal partai politik sendiri yang tidak konsisten menjalankan fungsinya serta tidak berupaya menciptakan iklim demokratisasi di internal partai politik sendiri. Itulah problem sebenarnya. Poin-poin dalam gugatan tersebut berkaitan dengan kaderisasi yang tidak efektif dalam melahirkan kandidat politisi yang ideologis. Faktanya selama ini, proses penjaringan Caleg lebih banyak dilakukan secara instan ketika moment pemilu tiba. Bahkan di sejumlah kasus untuk memenuhi keterpenuhan 30 persen perempuan pada suatu daerah pemilihan, partai politik secara terpaksa memasukkan perempuan dari keluarga dekat atau teman karib dalam daftar calon hanya untuk memenuhi syarat sesuai ketentuan UU Pemilu. 

Begitu pula, terdapat persoalan akut ditubuh partai politik sendiri karena tidak mendemokratiskan diri. Banyak pengurus inti partai terbentuk lebih mengedepankan aspek relasi dan kesamaan kepentingan semata atau karena memiliki finansial yang lebih sehingga dijadikan sebagai ketua partai. Bahkan pada sejumlah kasus partai politik dipimpin oleh satu keluarga secara turun temurun berdampak tumbuh suburnya praktik politik dinasti hingga pemerintahan. Partai politik masih dikelola dengan model autokratif. Hal ini merupakan problem serius. Bagaimana mungkin Partai Politik sebagai salah satu instrument kunci sistem politik demokrasi namun tidak dikelola sebagai lembaga publik yang demokratis pula. Jadi, persoalan sebenarnya ada pada partai politik, bukan pada sistem pemilu.    

Persoalan sebenarnya dalam sistem proporsional terbuka adalah multi partai ekstrim yang berpengaruh pada desain surat suara dan pengadministrasian hasil pemilu. Desain surat suara berkaitan dengan efektifitas pemilih. Administrasi hasil pemilu berkaitan dengan penyelenggara garda depan (frontline bureaucrats) seperti KPPS. Oleh karena itu, sumber daya harusnya difokuskan pada bagaimana desain surat suara yang ideal untuk mendorong pemilih menjadi rasional dan efektif dalam menyalurkan hak politiknya dihadapan kompleksitas surat suara yang mencantumkan ratusan caleg dalam puluhan partai politik berbeda. Sehingga, sehingga semua pihak terutama Partai Politik juga memfokuskan diri melakukan sosialisasi intensif kepada masyarakat pemilih mengenai desain surat suara dimaksud. 

Selain itu, administrasi hasil pemilu berupa sertifikat hasil penghitungan suara di TPS juga harus didesain untuk mendukung kinerja KPPS dalam menyelesaikan tugasnya dengan berpatokan pada pemilu berintegritas dan prinsip pemilu demokratis. Belajar dari pelaksanaan pemilu 2019, banyak KPPS meninggal, terjadi banyak kesalahan penulisan, serta indikasi malpraktik pemilu saat penhitungan suara disebabkan manajemen pelaksanaan yang belum mempertimbangkan aspek kemungkinan munculnya kerumitan pada desain administrasi hasil pemilu di TPS. Sehingga, persoalan ini juga harus menjadi perhatian serius bagi pelaksanaan pemilu 2024 yang sehat, akuntabel dan berintegritas.  

Seperti diuraikan dalil para penggugat sistem pemilu diatas, pembahasan mengenai uji materi UU Pemilu yang berkaitan dengan sistem Proporsional Terbuka menjadi tertutup hanya mendeskripsikan kepentingan partai politik semata. Memang, pemilu merupakan arena kompetisi legal dalam memperebutkan kursi untuk menduduki jabatan politik yang merupakan ranah partai politik sebagaimana norma dalam konstitusi. 

Namun, memahami pemilu hanya sebatas ini dengan menegasikan kepentingan publik maupun kepentingan negara, merupakan kesalahan fatal dalam berdemokrasi. Selama ini rancangan sistem pemilu belum diarahkan pada kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Sebaliknya, sistem pemilu sejauh ini didesain hanya untuk kepentingan partai politik semata. ("").


Share:
Komentar

Berita Terkini

 
Copyright © 2021 KritikPost.id | Powered By PT. CORONGTIMUR MEDIA GRUP - All Right Reserved.