Bulan pertama ditahun 2023 setiap orang atau organisasi memulai awal tahunnya dengan berbagai resolusi yang hebat, setelah melewati perjalanan panjang dan refleksi ditahun sebelumnya. Tentu evaluasi demi evaluasi tersimpan rapi dalam lisan maupun tulisan dengan setumpuk dokumen yang telah diarsipkan.
Dalam catatan-catatan tersebut juga menuliskan setiap prestasi juga wanprestasi yang telah dievaluasi dan menjadi resolusi tahun berikutnya. Para pejabat eksekutif mempersiapkan strateginya nya dalam membuat kebijakan dengan teliti agar tidak di Mutasi diawal tahun. Begitu juga politisi yang tak kalah cepat menyusun strategi yang terukur untuk meminang hati rakyat demi menambah pundi-pundi suara sehingga kelak dapat dipanggil “Bapak atau Ibu Legislatif).
Sementara Kepala desa yang tidurnya tak nyenyak sembari memikirkan laporan warga atas dirinya dengan dugaan Penyalahgunaan Dana Desa sehingga menyusun strategi agar keluar dari jeratan itu. Begitu juga dengan rakyat yang sementara kehabisan beras menunggu BLT yang tak kunjung diberikan dan akhirnya berhutang dan memikirkan cara untuk membayar hutang-hutang tersebut.
Narasi diatas hanyalah fiksi yang coba diantar penulis sebelum menuju fakta catatan evaluasi dari pejabat publik yang banyak memenuhi lumbung wanprestasi dibanding mengukir prestasi. Sehingga prediksi penulis, Lumbung wanprestasi akan sobek diakhir tahun karena tidak mampu menampung catatan-catatan buruk yang tiap saat diproduksi oleh para pejabat saat ini. Namun fokus penulis saat ini ialah beragam persoalan-persoalan Kepala Desa yang beberapa minggu terakhir mencuat sehingga menarik perhatian masyarakat Maluku Utara dan coba diulas secara objektif.
Bantuan Lansung Tunai Khusus Pilkades
Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan salah satu program andalan pemerintah pusat yang saat ini getol direalisasikan menggunakan Dana Desa dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Permendes PDTT Nomor 11 Tahun 2020 dan menjadi Legal Standing dalam merealisasikan program tersebut untuk menunjang pemulihan ekonomi di desa.
Namun fakta penyalahgunaan program andalan ini sangatlah memprihatinkan ditinjau dari meningkatnya kasus Korupsi Dana Desa yang 40 persen nya diperuntukan untuk Anggaran BLT pada masyarakat miskin. Kasus penyalahgunaan Dana Desa juga bukan barang baru bagi masyarakat Maluku utara.
Hal ini sangat jelas terlihat dari banyaknya laporan dugaan Penggelapan Anggaran BLT di beberapa Kabupaten/Kota akhir-akhir ini. Namun penulis terfokus dengan beberapa kasus di Hamahera Selatan yang sempat Viral dan menjadi konsumsi Publik Maluku Utara.
Diawal bulan januari, kita dihebohkan oleh salah satu oknum kepala desa yang nyaris dihajar warga karena dugaan penggelapan anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sementara kasus ini diproses, Beberapa media memuat setidaknya empat desa juga yang sementara di selidiki oleh Kejari Halsel dengan dugaan Korupsi Anggaran yang sama, juga belum tercatat banyaknya dugaan Penyalahgunaan Dana desa pada Desa lainnya.
Namun dari amatan penulis, Anggaran BLT lah yang sering menjadi sasaran empuk bagi oknum kepala desa untuk menyalahgunakannya terlihat dari banyaknya berita yang dimuat diberbagai platform media sosial sehingga program ini perlu ada kajian khusus bagaimana teknis penyalurannya agar tidak terus menerus disalahgunakan.
Regulasi dan Kebijakan andalan pemerintah pusat yang mengatur tentang penyaluran Bantuan kepada masyarakat harus mampu terealisasi dengan baik dan tepat sasaran sehingga mampu menunjang pemulihan ekonomi di desa. Karena metode yang di terapkan untuk penyaluran BLT melalui Pemerintah desa nampaknya tidak lagi efektif dilihat dari angka korupsi didesa yang kian meningkat yang berdampak pada kerugian Negara ratusan miliar serta kondisi masyarakat yang kian melarat akibat dari penyalahgunaan anggaran oleh Oknum Kepala Desa yang lebih tergiur menggunakannya untuk kepentingan pribadi dibandingkan memberikannya kepada penerima manfaat. (Refleksi dari beberapa laporan dan temuan dugaan penyalahgunaan anggaran Bantuan Langsung Tunai).
Penelitian oleh (Rahman, 2011) yang berjudul “Korupsi di Tingkat Desa” setidaknya sedikit mengulas tentang penyebab korupsi di tingkat desa. Pertama adalah kepala desa sering dikondisikan sebagai ujung tombak dan lebih sebagai ujung tombak.
Kedua, kepala desa dipilih berdasarkan hak pilihnya, tetapi modalitas ekonominya sangat lemah, sehingga terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi. Ketiga, posisi kepala desa menjadi pundi-pundi partai politik di tingkat akar rumput. Keempat, kurangnya pengawasan dan keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Dalam beberapa kasus ini, belum ada penjelasan konkrit yang menguraikan indikator mengapa banyak Kepala Desa yang terindikasi menyalahgunakan anggaran Desa namun sesuai teori diatas, secara ekonomis, jumlah konsumsi yang tinggi sementara pendapatan yang rendah dapat memicu seorang melakukan korupsi.
Belum lagi tekanan vertikal oleh elit politik untuk mengamankan berbagai kepentingan juga marak terjadi dan bisa menjadi pemicu. Sehingga Kepala Desa menjadi sasaran system dan konflik kepentingan (Conflic Of Interest) elit politik sehingga berdampak pada masyarakat akar rumput.
Mungkin benar yang disampaikan oleh Bill Murray seorang Aktor Amerika bahwa “Jadi, jika kita berbohong kepada pemerintah, itu kejahatan. Jika mereka berbohong kepada kita, itu Politik. Pada situasi ini nampaknya Kepala Desa harus kembali dibekali Pendidikan Karakter juga penguatan Iman yang cukup agar diberikan Hikmat untuk mampu mempertimbangkan secara rasional mana yang jadi milik pribadi dan mana milik masyarakat.
Karena sering sumpah jabatan diuji bahkan dijadikan formalitas jika berhadapan dengan tekanan kepentingan yang begitu kuat serta kemewahan yang ditawarkan. Hal ini juga tak terlepas juga dari peranan pemerintah daerah melalui inspektorat untuk melakukan pengawasan secara berkala kepada seluruh desa se kabupaten/Kota sehingga angka penyalahgunaan dana desa bisa diminimalisir dengan baik.
Carut marut Pilkades
Ditengah maraknya kasus korupsi dana desa, malah polemik kepala desa semakin mencuat karena proses pilkades yang banyak menuai pro dan kontra. Memang pilkades tanpa gugatan adalah hal yang tidak menantang dalam kontestasi, namun banyaknya protes terhadap hasil sidang sengketa mampu menciderai nilai demokrasi yang selama ini selalu dipelihara.
Meningkatnya kasus menolak hasil sengketa pilkades juga menjadi acuan kualitas demokrasi pada level akar rumput yang masih perlu dibina dan di edukasi serta jadi bahan evaluasi bagi pemerintah daerah hingga menghasilkan pemilihan yang bermartabat sesuai dengan regulasi yang diatur.
Hal ini sangat jelas terasa pada kabupaten Halmahera selatan saat dikeluarkannya hasil sidang sengketa tertanggal 9 Januari 2023. Dalam hasil sidang sengketa bernomor 140/079/1/2023 nampaknya meninggalkan beragam masalah yang sangat kompleks dan berkepanjangan sehingga membutuhkan perhatian khusus dari berbagai stakeholder.
Mulai dari beberapa desa yang memprotes hasil sidang sengketa karena menang perhitungan di desa dengan selisih suara yang beragam,(Dari hasil pengamatan,Desa Lata-Lata yang memiliki selisih suara terbanyak yaitu 104 suara) namun kalah dikabupaten dengan surat hasil putusan Sengketa tanpa menuangkan penjelasan didalamnya .
Konflik pasca putusan tak mampu dihindarkan lagi, kantor desa dan beberapa fasilitas menjadi sasaran luapan amarah masyarakat yang merasa tidak mendapatkan keadilan ( Dalam laporan Media, sudah ada tersangka pelaku pengrusakan fasilitas di Desa) dan berujung pada konflik antar masyarakat. Pada situasi ini pemerintah tidak memproyeksikan sejauh mana dampak yang diterima akibat konflik yang berkepanjangan ini.
Secara ekonomis, proses yang panjang ini tentu membutuhkan biaya yang besar mulai tahapan sengketa, hingga biaya pengamanan pasca putusan sengketa yang menuai pro dan kontra itu. Biaya ratusan juta itu harusnya disalurkan untuk mendongkrak perekonomian masyarakat agar mampu menekan tingkat kemiskinan yang semakin melonjak.
Dalam data BPS Malut, Halsel menggeser Halteng diposisi kedua dengan jumlah penduduk miskin 11.890 Jiwa. Selain dampak ekonomis, ada dampak Sosiologis yang jadi kekhawatiran penulis serta jadi tanggungjawab pemerintah saat ini.
Seperti yang disampaikan Ismail (2011) bahwa “proses konflik-integrasi dalam masyarakat senantiasa silih berganti. Selain itu sering terjadi penyelesaian konflik justru menyisakan potensi konflik lanjutan karena dalam prosesnya dianggap kurang memuaskan salah satu atau kedua belah pihak”.
Dampak nya ada Relations Gap pada interaksi kekeluargaan di masyarakat akar rumput menjadi retak akibat perbedaan pilihan dan berujung pada konflik jangka panjang, Budaya Gotong royong sebagai sikap kekeluargaan didesa menjadi terbatas dan tersekat antara gerbong satu dengan lainnya sehingga secara sosiologis kondisi ini menjadi fenomena sosial yang memprihatinkan karena perpecahan yang lebih besar dan traumatik psikologi terhadap kontestasi dekmokrasi di desa.
Orang akan banyak berasumsi liar dan bisa saja membangun narasi “Pilkades berikutnya tidak perlu banyak konsulidasi, cukup lobi yang kuat saja. Jangan lagi percaya terhadap proses Pilkades yang murni” dan hal ini tentu sangat menciderai nilai demokrasi dan perlu dicermati oleh pemerintah agar mampu menepis hal-hal seperti ini.
Jika pemerintah peka terhadap situasi yang Kompleks ini, Seharusnya hal demikian mampu dianalisa dampaknya sehingga tidak ada tindakan anarkisme dengan merusak Fasilitas Negara, juga konflik antar masyarakat dan berakibat kepercayaan publik terhadap pemerintah kian menurun apalagi ada paradigma yang berkembang soal Daerah dengan indeks Demokrasi yang buruk.
Karena langkah-langkah taktis dengan menurunkan aparat keamanan yang mengadili masyarakat ketika melakukan anarkisme bukanlah satu satunya solusi untuk meredam konflik. Melainkan memberikan penjelasan serta edukasi secara normatif ketika masyarakat tidak puas dengan hasil tersebut. Langkah-Langkah Konsiliasi ,Mediasi serta Arbitrasi menjadi acuan utama agar mencapai kesepakatan bersama. (Ralf Dahendrof : Teori Konflik).
Sembilan Tahun Masa Kepala Desa
Banyaknya dugaan Korupsi Dana Desa serta Sengketa Pilkades nampaknya hanya bagian kecil dari rentetan polemik kepala desa, dan klimaksnya ada pada wacana masa jabatan Sembilan tahun kepala desa pasca disetujuinya revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 Oleh DPR RI Hari beberapa waktu kemarin.
Bersamaan dengan rapat DPR RI, Perkumpulan Pemerintah Desa Seluruh Indoneseia (Pabdesi) juga antusias memenuhi Kantor DPR RI sebagai respon mendukung upaya perpanjang masa jabatan Kepala Desa.
Berdasarkan amatan penulis,Tiga Kepala Desa dari Maluku Utara pun mengikuti aksi tersebut. Melihat hal ini, tentu perlu analisa yang baik dari segi kekuatan,kelemahan, peluang dan ancaman sehingga ada kajian khusus serta dasar pikir yang jelas dan terukur agar tidak terkesan buru-buru dalam penetapannya.
Dikutip dari Detiknews, “Alasan Perpanjangan masa jabatan kepala desa karena tidak cukupnya waktu enam tahun untuk membangun Desa,karena perlu waktu yang panjang untuk rekonsiliasi pasca Pilkades”. Namun alasan tersebut penulis merasa kurang memiliki kajian praktis dan teoritis yang valid, karena bertolak belakang dengan realitas kondisi pemerintah desa saat ini.
Maraknya kasus yang dilakukan oleh oknum kepala desa baik kebijakan, pengelolaan anggaran juga maladministrasi, menjadi acuan yang kokoh untuk tidak menyetujui perpanjangan masa jabatan Sembilan tahun.
Penulis berpandangan bahwa Pertama, usulan perpanjangan masa jabatan ini bisa dilakukan jika tren atau angka korupsi menurun dari tahun ke tahun. Namun faktanya Indonesia Corruption Watch (ICW) Menemukan sebanyak 154 Kasus yang merugikan negara ratusan Miliar di Tahun 2021, dan belum terhitung Anggaran BLT di Tahun 2022 yang menyebabkan Tren Penyalahgunaan Dana Desa terus meningkat dari Tahun 2015. Sehingga sangatlah tidak rasional jika meminta perpanjangan masa jabatan tetapi tidak melihat Rekam jejak dan dampaknya secara totalitas.
Kedua Potensi Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KKN) bertumbuh subur didesa sehingga mengakibatkan bobroknya administrasi serta pembangunan di desa, seperti yang pernah disampaikan Presiden SBY bahwa “Pemimpin yang terlalu lama cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadi Diktator”. Dan ketiga adalah strategi politik kepentingan kelompok tertentu yang coba menunggangi menuju Tahun Pemilu 2024.
Dari tiga masalah yang kompleks itu kiranya menjadi catatan kritis kita bersama, bahwa Birokrasi desa perlu direnovasi dan memberikan inovasi terhadap kebijakan dan pengelolaan keuangan sehingga mandiri atas pengelolaan dana desa tanpa intevensi dari pihak elit politik.
Nilai Demokrasi juga penting dirawat sehingga tidak memicu konflik antar masyarakat akar rumput. Dan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa, perlu dikaji dengan dasar pikir yang lebih detail dan terukur ditinjau dari realitas saat ini sehingga tidak menimbulkan masalah yang lebih besar nantinya. ("").