Oleh : Sefnat Tagaku (Aktivis Muda Maluku Utara)
Beberapa hari ini, di Halmahera Selatan (Halsel), Maluku Utara (Malut), gempuran aksi protes yang datang dari masyarakat akibat putusan sengketa Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang dinilai adalah putusan sepihak. Dimana, ada yang kalah dimenangkan dan menang dikalahkan, tanpa amar putusan atau penjelasan dari hasil yang dikeluarkan.
Sementara dilain hal, ada Calon Kepala Desa (Cakades) yang didalilkan sebagai anggota Partai Politik namun tetap dimenangkan. Tapi juga, ada yang menang saat Pilkades namun disingkirkan karena dalil Cakades tersebut terdaftar dalam Parpol. Tentu dengan keputusan ini, publik dibuat bingun. Kenapa tidak, karena hasil yang diumumkan oleh bupati terkesan mengebiri hak masyarakat.
Lantas ada sekelompok orang yang seolah-seolah menjadi juru bicaranya Bupati, yang menjelaskan bahwa hasil sengketa Pilkades yang telah diumumkan itu adalah benar-benar pertimbangan dari hasil persidangan. Namun menariknya, Bupati Halsel sendiri telah menyatakan sikap dia akan mengambil alih proses sengketa Pilkades.
Pun bupati mengakui bahwa ada suap-menyuap dalam proses persidangan itu. Jika ya, apakah Bupati pun terlibat dalam proses itu (suap-menyuap), sehingga hasil persidangan yang sebelumnya telah dinyatakan ada suap-menyuap namun tetap dipakai sebagai kekuatan hukum dan melahirkan hasil sengketa Pilkades? Ini mesti dibicara lagi lebih serius dan kongkrit sehingga tidak menciptakan polemik besar di desa-desa.
Mirisnya, aksi yang begitu murni dari masyarakat atas dasar resah dengan hasil yang dikeluarkan itu, dinilai ditunggangi oleh elite Parpol. Padahal, beberapa komentar yang menanggapi situasi sosial pasca diumumkannya hasil sengketa Pilkades adalah bentuk rasa prihatin dengan kondisi masyarakat di desa-desa. Lalu apa yang ditunggangi? Saya curiga ini hanya sekedar mengalihkan isu, untuk menutupi kejahatan besar yang telah dibuat melalui hasil sengketa Pilkades.
Pertanyaan menariknya adalah, sampai kapan polemik ini dibiarkan? Sampai kapan hak demokrasi masyarakat dikembalikan? Padahal, tagline dari pemerintahan Usman-Bassam adalah "mengembalikan senyum", namun nyatanya tangisan dan luka yang dirasakan oleh masyarakat. Lalu kapan duka dan tangisan itu dikembalikan menjadi senyum? Menunggu dan berharap menanti akan datangnya senyum itu? Kesabaran ada batasnya. Sewaktu ia akan mencari jalannya dan keluar menjadi pemenang.
Momentum sengketa Pilkades ini yang kemudian tepat waktunya pemerintahan Usman-Basam menepati janji untuk mengembalikan senyum Halsel. Karena jika tidak, maka tangisan, duka dan Doa masyarakat akan menemukan kebenaran dengan sendirinya. Sebab saya begitu yakin pepatah bijak yang disampaikan oleh Alm. Prof. Dr. Sahetapy pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC), bahwa "secepat-cepatnya kebohongan berlari, satu waktu kebenaran akan mendahuluinya". ("").