OLEH : ARISTALIANA RAMBING
AGENDA politik 5 tahunan bukan hal yang baru
terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia, dimana setiap 5 tahun (yang di
sebut periode kepemimpinan itu berakhir) rakyat kembali memilih para pemimpin
mulai dari DPRD, DPRI, DPD, Bupati/Walikota, Gubernur bahkan Presiden yang
termasuk Kepala Desa (dengan periode yang berbeda 6
tahun) hanya pemimpin di kecamatan dalam hal ini Camat yang tidak masuk dalam agenda politik 5 tahunan tersebut,
jika camatpun di pilih maka genaplah sudah yaitu
semua pemimpin di indonesia adalah hasil dari pemilihan.
Dalam
agenda tersebut terjadi dua hal yaitu mempertahankan kekuasaan dan atau merebut
kekuasaan, hal ini bukan tergantung pada rakyat tetapi tergantung pada kandidat
itu sendiri yakni memakai strategi untuk merebut hati rakyat dan merebut hati
penyelenggara atas dasar pemikiran ini maka terjadilah yang nama deal-deal
politik, sehingga praktek kecurangan pada pemilu pun tak terelakkan.
Praktek-praktek kecurangan tersebut dapat kita lihat dan saksikan dalam setiap
momen 5 tahunan itu dimana kita bisa petakan zona-zona terjadinya praktek kecurangan tersebut yaitu :
1. Zona Kampanye
Dalam peraturan
komisi pemilihan umum republik Indonesia nomor 12
tahun 2020 tentang perubahan atas peraturan komisi pemilihan umum nomor 5
tahun 2017 tentang dana kampanye peserta pemilihan gubernur
dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau
walikota dan wakil walikota.
Pada pasal 1 ayat 8 berbunyi yaitu Kampanye Pemilu yang selanjutnya disebut Kampanye adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Dan seterusnya dalam peraturan KPU ini secara rinci mengatur berbagai hal terkait dengan kampanye semua yang di atur hanya berkaitan dengan bagaimana menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu bukan yang lain. Sementara untuk dana kampanye juga di atur dengan berbagai mekanisme yang tertanggung jawab dan jauh dari politik uang.
Namun dalam praktek masa kampanye pemilu justru yang terjadi tidak demikian, dalam praktek kampanye para kandidat tidak hanya memperkenalkan visi, misi, program, atau citra diri tetapi memberikan hal yang lain sehingga kampanye menjadi berubah seperti tempat menerima BLT (bantuan langsung Tunai) atau tempat meneri sembako, bahkan ada beberapa warga yang menceritakan bahwa ada kandidat yang menghamburkan uang dalam momentum kampanye.
2. TPS
TPS adalah singkatan dari Tempat Pemungutan Suara, ditempat inilah dimana rakyat (pemilih) yang telah memenuhi syarat menyelurkan suara, baik berdasarkan hati nurani yang murni maupun berdasarkan hati nurani yang telah dibeli, semuanya disalurkan di tempat ini, tempat ini seharusnya tidak terjadi kecurangan karena ada berbagai petugas baik petugas pengawasan (Panwas TPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok penyelenggara pemungutan Suara (KPPS), bahkan keamanan (polisi). Yang semunya menjalankan tugas dengan baik, namun ada dua hal dimana terjadi kecurangan di TPS kecurangan yang pertama datang dari pihak pemilih. ada beberapa warga yang menceritakan kisah kecurangan yangterjadi di TPS yang dilakukan oleh pemilih yang datang dengan kepentingan, kecurangan-kecurangan yang dilakukan yaitu memilih lebih dari satu kali di TPS yang berbeda dengan memakai Undangan di TPS lain dan KTP di TPS lain, ada juga yang mengambil kartu suara lebih dari satu. Selain itu kecurangan juga datang dari pihak penyelenggara dimana ada informasi dari masyarakat bahwa terjadi pencoblosan surat suara sisa untuk kepentingan kandidat tertentu.
3. Kecamatan
‘’Kecurangan ditingkat sudah merupakan sebuah kelasiman dimana dilakukan jual beli suara, hal ini dipraktikkan dengan begitu parah, dimana calon (kandidat) yang suaranya tidak mencukupi untuk mendapatkan kursi ataupun posisi tertentu dan biasanya mudah untuk menerima tawaran itu suapay suaranya dibeli oleh calon/kandidat yang lain yang membutuhkan suara itu dan hal itu dianggap sah-sah saja’’ (Walfrid Yons Ebiet, Ambil Uangnya Jangan Pilih Orangnya!; Yayasan Suluh uswantara Bakti, Jakarta 2023, Hal 71)
Penutup.
Hal miris
sebagaimana disampaikan di atas seharus tidak terjadi dalam pesta demokrasi,
karena pesta demokrasi seharusnya menjadi ajang pertarungan yang jujur, adil,
berintegritas dan penuh dengan nuaansa persaingan kini telah berubah oleh
karena keegoisan yang menimbulkan noda yang disebabkan karena kecurangan, bahkan
kecurangan dibuat secara sitematik dan terstrutur secara rapih untuk menutupi
kegelapan demokrasi.
Apakah
wajah tahun politik 2024 masihkah hal-hal itu terjadi? ("").